Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Vaksinasi "Mental" Orang Indonesia

17 Januari 2021   11:33 Diperbarui: 17 Januari 2021   11:44 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Goris Lewoleba

Dewan Pakar dan Juru Bicara Vox Point Indonesia

Hari-hari belakangan ini, ruang publik di Tanah Air sedang dipenuhi dengan suatu diksi sosial politik yang fenomenal, yaitu Vaksinasi Covid-19. 

Pasalnya, di tengah rasa galau dalam kecemasan masal yang mendebarkan, karena Pandemi  Covid-19 yang belum juga menunjukkan sinyal senyap di awal Tahun 2021 ini, muncul suatu harapan baru di tengah masyarakat, bagai "pucuk dicita ulam tiba", yaitu dimulainya tindakan Vaksinasi Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia.

Dikatakan demikian karena, pada hari Rabu, 13/1/2021 di Istana Merdeka, Presiden Jokowi Widodo secara dramatis menerima Vaksinasi Covid -19 yang diberikan oleh Wakil Dokter Kepresidenan, Dokter Abdul Muthalib sebagai penanda awal dilaksanakannya Vaksinasi Covid-19 di Tanah Air. 

Selain Presiden, pada hari pertama vaksinasi itu, tercatat sebanyak 24 orang yang mewakili berbagai profesi dan kalangan, seperti pejabat, tokoh agama, guru, dokter, perawat, dan perwakilan kelompok masyarakat, termasuk kaum milenial. 

Jenis Vaksin yang diterima Presiden Joko Widodo yang juga akan diterima oleh masyarakat luas adalah, Vaksin Covid -19 buatan perusahaan farmasi Sinovac Biotech, China, yang bekerja sama dengan PT Bio Farma (Persero). 

Vaksin itu, sebelumnya telah mengantongi izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan serta dinilai halal dan suci oleh Majelis Ulama Indonesia. 

Tindakan Vaksinasi ini, dapat dikatakan sebagai sejarah baru bagi Negara Republik Indonesia. Hal ini dipertegas melalui Catalan Kemeterian Kesehatan bahwa, sebanyak 70 persen atau 181, 5 juta jiwa dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia akan memperoleh vaksin sebagai upaya menciptakan Kekebalan Komunitas. 

Kekebalan komunitas ini, akan mencegah infeksi Virus Corona demi terkendalinya Pandemi Covid-19. Dengan demikian maka, diharapkan selama tahun 2021 ini, Indonesia memerlukan 426 juta dosis vaksin. Dan diharapkan pula, pada akhir Desember 2021, 181,5 juta jiwa masyarakat Indonesia sudah mendapat Vaksin Covid-19. 

Cermin Realitas Vaksinasi

Meskipun imunitas setelah Vaksinasi tidaklah Instan, tetapi paling tidak, tindakan Pemerintah untuk melakukan berbagai upaya untuk mengobati dan memutus mata rantai penularan Virus Corona di kalangan masyarakat ini, merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. 

Atas situasi dan kondisi yang demikian maka, sebagaimana dilaporkan Atika Walujani Moedjiono (Kompas, 15/1/2021), bahwa Vaksin yang dibuat dari virus yang diinaktivasi, protein atau zat biologis dari virus atau kuman lain, ditujukan agar sistem kekebalan tubuh memproduksi anti bodi untuk melawan kuman. 

Akan tetapi Vaksin perlu waktu untuk menginduksi imunitas tubuh. Selain antibodi belum terbentuk risiko terkena Covid-19 tetaplah tinggi. 

Sehubungan dengan hal itu, maka masyarakat awam telah pula dicerahkan oleh Kusnandi Rusmil (2021), Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Sinovac di Indonesia, yang juga adalah Guru Besar Universitas Padjadjaran bahwa, Vaksin produksi Sinovac Biotech China, diberikan dengan dua kali penyuntikan dengan jarak dua minggu. Hal itu untuk memastikan agar kadar antibodi cukup tinggi untuk menetralisir virus dimaksud. 

Situasi ini dapat dipahami lebih lanjut atas dasar hasil riset dari Kusnandi (ibid) bahwa, dua minggu setelah suntikan pertama, antibodi akan terbentuk dan baru sempurna dalam waktu satu bulan setelah penyuntikan kedua. Pada tiga bulan pertama titer antibodi cukup tinggi, dan imunogenisitas terukur 99,23 persen, dan diperkirakan antibodi dapat bertahan hingga satu tahun, setelah itu diperlukan suntikan penguat atau apa yang lazim dalam dunia kedokteran disebut sebagai booster.

Sebagai proses dan langkah edukasi masyarakat, maka perlu juga dipahami bahwa, Vaksin Corona ini dibuat dari virus yang dimatikan. Karena itu, masyarakat tidak perlu kuatir tertular Covid-19 dari vaksinasi ini. Namun demikian, masih ada kemungkinan orang yang telah divaksinasi akan tertular Covid-19 dari orang lain, hanya saja gejalanya ringan saja sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.

Meskipun begitu, keamanan Vaksinasi ini akan baik adanya. Efek samping yang akan terjadi pun relatif ringan, hanya terbatas pada bengkak kecil, atau agak kemerahan di lokasi suntik, demikian juga mungkin adanya demam ringan sekitar (36,5-38,4) derajad celsius, serta mungkin sedikit terasa pusing.

Vaksinasi dan Mentalitas Orang Indonesia

Sebagaimana diketahui bersama bahwa, Pandemi Covid-19 merupakan salah satu musibah umat manusia abad ini, dan telah merubah wajah dunia yang biasanya cerah ceria, menjadi muram durja dan berlinang air mata.

Betapa tidak, Pandemi Covid-19 ini, telah menimbulkan banyak korban jiwa di berbagai negara di belahan dunia ini, dengan menyisakan duka yang mendalam dan pengalaman hidup yang traumatik.

Sebagai Catatan penting, per Tanggal 16 Januari 2021, di Indonesia terjadi rekor kasus baru sebanyak 14.224, sehingga total menjadi 896.642 kasus Pandeni Covid -19 di Tanah Air. 

Demikian juga, Pendemi Covid-19 ini, telah pula meluluhlantakkan imperium bisnis para taipan dan milyiarder yang mengendalikan roda dunia bisnis selama ini.

Meskipun demikian, ketika munculnya Pandemi Covid-19 di Tanah Air sejak hampir setahun yang lalu, sebagian masyarakat Indonesia masih menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja.

Bahkan ada sebagian pihak yang melihatnya sebagai rekayasa dan konspirasi dalam dunia Politik dan Ekonomi antar kekuatan super power dalam berbagai bidang kehidupan.

Belum lagi, bagi sebagian masyarakat Indonesia yang rawan dan miskin literasi serta sensitif dengan berita hoax di media sosial, maka hal itu telah menjadi semacam umpan api yang paling potential untuk menyulut sentimen anti kebenaran akan informasi mengenai bahaya Pandemi Covid-19. Demikian juga para Politisi Oportunis berusaha memanfaatkan situasi Pandemi Covid-19 ini, untuk menggoyang dan menjatuhkan Rezim Pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Ini semua dilatari oleh Sistem Nilai Budaya Orang Indonesia, yang oleh Kuntjaraningrat (1974) disebutnya sebagai Mentalitas Orang Indonesia.

Oleh karena itu, untuk dapat memahami tindakan "Vaksinasi Mental" Orang Indonesia secara lebih tepat, maka dengan meminjam Koentjaraningrat (ibid) yang juga dikutip oleh kaltim.prokal.co.read.news (2014), dikatakan bahwa, istilah "mentalitas" bukanlah sebuah istilah ilmiah. Istilah ini  mengandung maksud sebagai keseluruhan isi dan kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam merespons lingkungannya.

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan masyarakat Indonesia, maka frasa "mentalitas" ini mencakup sistem nilai budaya dan sikap mental dari Orang Indonesia yang menjadi ciri khas yang melekat pada dirinya. 

Agar dapat memahami makna "Vaksinasi Mental" Orang Indonesia secara lebih praktis, maka terdapat beberapa mentalitas sebagian besar Orang Indonesia yang perlu dipahami dalam sudut pandang Kekebalan Mental agar dapat terhindar dari Pandemi Covid-19 yang amat membahayakan keselamatan, baik secara fisik maupun mental bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. 

Meskipun mentalitas ini bukan merupakan representasi dari kenyataan yang sesungguhnya, tetapi atas dasar refleksi dari realitas yang mendekati kebenaran, maka gambaran Mentalitas Orang Indonesia yang perlu divaksinasi antara lain:

Pertama, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas meremehkan mutu dari hasil pekerjaannya. Bagi mereka, yang penting suatu pekerjaan diselesaikan, tapi mutunya adalah urusan belakang. Karena itu hasil pekerjaan orang Indonesia rata-rata asal jadi, asal selesai. 

Mentalitas semacam ini tidak hanya terjadi di kalangan Aparat Sipil Negara (ASN), melainkan juga di kalangan masyarakat pada umumnya di Indonesia. Disinyalir bahwa, gaji ASN setinggi berapa pun belum tentu bisa mengubah mentalitas yang buruk ini. Apalagi dalam masa Pandemi ini, ketika orang diminta bekerja dari rumah atau Work From Home, maka mutu pekerjaan adalah urusan nomor dua, prinsipnya yang penting selesai dan memenuhi target. 

Kedua, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas menerabas. Hal ini dimaksdkan bahwa, semua tujuan hidup, pekerjaan, karier, profesi, kekuasaan, dan sejenisnya dengan gampang ditempuh jalan pintas atau menerabas melalui modus operandi yang menghalalkan segala cara. Rambu-rambu moral dan etika standar diabaikan. Sumber korupsi di Indonesia, antara lain berakar dari mentalitas menerabas ini. Mentalitas yang tak mau bekerja keras alias malas, namun menuntut pendapatan/gaji/honor yang tinggi (tak sebanding dengan prestasi kinerja).     

Ketiga, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas tak percaya pada kemampuan diri sendiri. Atau dengan perkataan lain, sebagian besar orang Indonesia tidak memiliki  self resiliance yang unggul. Orang Indonesia tidak memercayai kemampuan dirinya sendiri. Ia lebih memercayai dan menghargai kemampuan orang asing, atau orang lain. Ia bersikap inferior terhadap orang lain yang dianggapnya superior. Mentalitas inilah yang merusak integritas dan profesionalitas orang Indonesia.

Sikap mental yang rendah diri ini biasanya ditopengi dengan sikap angkuh dan sok berkuasa yang penuh dengan kepura-puraan.    

Implikasi dari sikap mental seperti ini yang justru menjadi "bumerang moral" untuk tidak memercayai bahwa Vaksin Covid -19 dapat memutus mata rantai penularan Pandemi Covid-19. Malah sebaliknya berpikir bahwa, Vaksin Covid -19 ini tidak lebih dari mekanisme bisnis obat-obat di bidang kesehatan. 

Keempat, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas yang tidak berdisiplin murni. Orang Indonesia tidak bisa berdisiplin secara murni tanpa pengawasan dari pimpinan atau atasan. Orang Indonesia berpura-pura disiplin, jika ada pemimpin, pengawas atau sejenisnya. Inilah sumber kinerja orang Indonesia yang sangat buruk hingga sekarang ini. Orang Indonesia tak mampu berdisiplin secara mandiri. Ia membutuhkan pengawasan terus-menerus dalam setiap pekerjaannya. Sebagian besar orang Indonesia tidak disiplin dengan waktu, "jam karet".

Dalam hubungannya dengan Pandemi Covid-19, sudah menjadi semacam Common Sense bahwa, sebagian besar orang Indonesia tidak disiplin mengikuti Protokol Kesehatan. Misalnya, semaunya mengikuti kerumunan di mana-mana, tidak menjaga jarak, dan tidak mencuci tangan. Apalagi jika ada Liburan Panjang, maka dinamika dan aktivitas masyarakat seperti ungkapan, "dimana ada gula, di situ ada semut"

Kelima,  sebagian besar orang Indonesia bermentalitas tidak bertanggung jawab atas perbuatan dan kesalahannya sendiri. Sebagian besar orang Indonesia "melemparkan" tanggung jawab pribadinya kepada entah atasan ataupun bawahannya. Orang Indonesia berani berbuat, tapi takut menanggung risiko. Inilah sumber kelangkaan bagi orang Indonesia yang berintegritas dan profesional. Dalam situasi Pandemi Covid-19 ini, apapun hal atau peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat sebagai akibat dari mentalitas masyarakat tidak disiplin, maka yang disalahkan adalah Presiden Joko Widodo. 

Keenam, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas hipokrit. Hal ini mengandung pengertian bahwa, orang Indonesia itu cenderung munafik dalam segala hal, termasuk dalam menghadapi Pandemi Covid-19 ini. Orang Indonesia suka hidup dengan topeng kebohongan, kepura-puraan, tidak otentik, atau tidak bersikap apa adanya. Demi menjaga citra dan eksistensi sebagai simbolisasi kekuatan palsu, maka sudah menjadi Pasien Covid -19 pun, tetap mengakui bahwa dia sehat walafiat. pada hal kondisinya itu sangat membahayakan pihak lain secara komunal. 

Ketujuh, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas oportunis. Hal ini mengandung pengertian bahwa, di mana ada tempat yang aman bagi kepentingan dirinya sendiri, maka di sanalah ia berlindung, bersarang. Karena itu, orang Indonesia bermentalitas bak "pahlawan kesiangan". Ia menepuk-nepuk dada di atas keberhasilan dan kerja keras orang lain. Keberhasilan orang lain tanpa malu-malu diakuinya sebagai keberhasilan dirinya sendiri. Dalam dunia politik Indonesia, mentalitas semacam ini sering terjadi, kapan dan di mana saja, termasuk dalam situasi Pandemi Covid-19 ini. 

Kedelapan, sebagian besar orang Indonesia bermentalitas aji mumpung. Artinya mumpung ada peluang, maka berbuatlah ia seenaknya untuk memperkaya dirinya sendiri dan para kroni politiknya. Ketika menjadi Penguasa, maka muncullah prinsip mumpung jadi penguasa negeri ini, maka korupsilah ia sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri, keluarga, dan kroni-kroninya, termasuk melakukan korupsi Bansos terkait bencana Pandemi Covid-19. 

Dari berbagai narasi sebagaimana yang diutarakan di atas, maka hal penting yang perlu menjadi perhatian semua pihak adalah, bahwa efektivitas Vaksinasi Pandemi Covid-19 ini, tidak hanya sebatas pada Vaksinasi Fisik Masyarakat Indonesia, tetapi diperlukan juga "Vaksinasi Mental" Orang Indonesia dengan memberikan Suntikan atau Injeksi Moril yang kuat, disertai dengan sanksi yang tegas melalui Penegakkan Hukum bagi semua pihak yang melanggar hukum, tanpa kecuali, agar penyelesaian Pandemi Covid-19 ini dapat dituntaskan secara komprehensif melalui pendekatan secara tegas, jelas, otentik dan terukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun