Dengan demikian, Â maka proses penegakkan regulasi untuk merawat semangat Bhineka Tunggal Ika harus melibatkan masyarakat sipil, untuk dapat mengawasi mekanisme dan prosedur penegakkan regulasi secara transparan dan akuntabel.
Dalam hubungannya dengan hal itu,  maka negara sebaiknya memfasilitasi keterlibatan perwakilan  masyarakat sipil dalam proses penilaian tindakan  untuk dikategorikan sebagai kepatuhan atau ketidakpatuhan dalam tindakan pelanggaran kemanusiaan.
Untuk dapat memahami hal tersebut di atas dalam konteks yang lebih luas,  maka dengan merujuk pada pendapat Edwin Wilmsen dalam karyanya  The Politics of Difference Ethnic Premise in A World of Power (1996), yang mengatakan bahwa,  kebinekaan seakan-akan hanya menjadi politik perbedaan yang menekankan sebuah kontestasi masing-masing individu  dengan motif menonjolkan dirinya sendiri sembari meminggirkan pihak lain.
Kemudian,  dalam kenyataan pada keseharian hidup  sebagai anggota masyarakat, terutama di ruang media sosial, kerap kali diksi kebinekaan hanya dijadikan sebagai jargon eksistensial secara sepihak yang digambarkan sebagai penegasan bahwa dirinya memang bebeda dengan pihak lain.
Situasi seperti ini  yang oleh Fathorrahman Ghufron (2017) dikatakan sebagai alasan untuk membangun jarak ketika berhadapan dengan pihak yang tak satu iman, tak satu suku,  tak satu kelompok,  dan tak satu paham dengan pandangan dan pemikirannya.
Â
 Intoleransi dan Merdeka Dalam Kebinekaan
Makna Kemerdekaan mestinya dipahami dalam konteks kebebasan untuk hidup berdampingan secara damai sebagai sesama anak bangsa yang berlatar multikultural dalam semboyan Bhineka Tinggal Ika.
Namun demikian, sebagaimana yang dipertanyakan oleh Zuly Qodir (2017), mengapa dalam realitas sosial keagamaan kita,  ada sekelompok orang  beragama yang tampak enggan menyebarkan dan mempraktikkan sikap menghargai,  menghormati, serta memanusiakan lyan yang berbeda agama,  keyakinan dan kepercayaan ?
Pertanyaan ini sudah tentu dapat membangun kesadaran baru bagi kita semua di peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
yang telah berusia 75 tahun  ini untuk dapat menjawabnya secara objektif.
Sudah menjadi semacam common sense bahwa, prinsip dan semboyan Bhineka Tunggal Ika di negeri ini sedang diinfeksi bukan oleh Virus Corona,  tetapi oleh penyakit menular yang amat berbahaya bagi bangsa Indonesia,  yaitu oleh dua penyakit yang bersaudara sepupu  yang disebut  sebagai  Virus Intoleransi dan  Radikalisme.
Tekait dengan  kedua hal tersebut  di atas,  maka Zuly  Qodir (ibid) mengatakan bahwa,  benih-benih intoleransi disinyalir 'menginfeksi' Bhineka Tunggal Ika karena masuk dan bercampurnya kepentingan politik melalui ruang privat agama-agama.
Agama yang mengajarkan kemuliaan,  keramahan,  kerjasama, saling menghargai, saling menghormati,  karena dirasuki kepentingan politik kelompok yang yang sifatnya  sering jangka pendek, alhasil menjadikan orang beragama-beriman menjadi tidak dapat melihat dengan jelas akan kebajikan dari agama-agama.
Kondisi seperti tersebut di atas yang menjadi fenomena sosial yang paling kelihatan  dan yang  amat dirasakan oleh masyarakat  dalam rentang waktu belakangan di negeri ini yang bernuansa multi etnis,  suku,  agama,  ras dan antargolongan (SARA).