Sehubungan dengan hal itu,  maka sebagaimana dikatakan oleh Krisnina Maharani (1997) bahwa, tumbuhnya watak bangsa merupakan hasil proses interaksi antarpribadi, pribadi  dengan kelompok berdasarkan kesukuan dan interaksi dengan kebudayaan. Â
Interaksi antarmereka ini terjadi dalam proses kehidupan dan sejarah yang berlangsung  lama dan tidak pernah berhenti.  Kecuali itu, watak bangsa terbentuk dalam kaitannya dengan usaha manusia dalam mencapai cita-cita dan nilai luhur suatu bangsa.
Watak bangsa dapat juga dipandang sebagai identitas bangsa, identitas nasional atau karakter nasional yang menjadi energi positif untuk menjadi pemicu kemajuan suatu bangsa di berbagai bidang kehidupan dalam percaturan antarnegara di dunia.
Meskipun demikian, dalam beberapa dekade belakangan ini, watak bangsa yang dibingkai dengan semboyan Bhineka Tinggal Ika itu, Â tampak sedang mengalami ujian dari dan oleh dirinya sendiri, melalui tindakan dan perilaku Intoleransi dan Radikalisme yang ingin menegasikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia dalam prinsip dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Merdeka dan Merawat Kebinekaan
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang dirayakan pada hari ini, dapat menjadi momentum penting  untuk melakukan refleksi terhadap realitas kehidupan berbangsa dan bernegara  di Tanah Air Indonesia yang tercinta ini.
Refleksi dimaksud terkait dengan adanya bahaya yang tidak hanya bersifat laten,  tetapi sudah secara overt atau terbuka dan terang benderang  bahwa,  bangsa Indonesia sedang mengalami ujian berat sebagai suatu bangsa yang majemuk.
Berkenan dengan itu,  maka dengan meminjam Baharuddin (2017) dikatakan bahwa,  Indonesia sebagai identitas sedang dicabik-cabik oleh golongan tertentu dengan mengusung agenda terselubung untuk mengganti  Pancasila sebagai Ideologi Negara melalui gerakan dan penetrasi Idologi Khilafah yang berusaha untuk meniadakan keragaman masyarakat bangsa Indonesia yang dipersatukan dengan Semangat Gotong Royong  dan Bhineka Tunggal Ika.
Fenomena dan realitas seperti itu, nyata terasa dan tampak jelas kelihatan melalui kontestasi identitas (agama dan ras),  yang tidak hanya terjadi di Ibu Kota, tetapi juga menjalar ke sejumlah wilayah lain di seantero  negeri  ini.  Misalnya,  pernah di Jogyakarta, seorang Camat yang beragama minoritas ditolak oleh kelompok masyarakat yang beragama mayoritas. Â
Atau contoh lain yang telah menjadi tregadi memilukan dalam Pemilukada pada beberapa tahun lalu di Ibu Kota, yaitu kasus Ahok yang tampaknya tak pernah akan hilang di memori publik di Tanah Air dalam lintasan sejarah  bangsa Indonesia.
Contoh  yang disebut terakhir ini. memperlihatkan adannya kontestasi antarpihak dalam mendefinisikan ketidakpatuhan (non-compliance), dimana upaya negara untuk menggunakan sistem peradilan terbuka terus dirongrong dengan kelompok pembawa massa untuk mendesak negara mengikuti definisi yang dianutnya. Â