Oleh : Goris Lewoleba
Hari ini Tanggal  17 Agustus 2020 adalah hari yang istimewa bagi segenap bangsa dan rakyat Indonesia,  karena pada hari ini, bangsa Indonesia Merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang genap berusia 75 tahun.
Jika ditarik dalam rentang waktu umur manusia, maka usia 75 tahun merupakan sosok pribadi yang sarat dengan beragam pengalaman hidup yang penuh dengan nilai-nilai kebijaksanaan.
Jika dipahami dalam sudut pandang nation state, Â maka bangsa Indonesia yang sudah berusia sematang ini, merupakan Negara Bangsa yang terhimpun dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan yang diperkuat dengan Ideologi Pancasila dan Dasar Negara UUD 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia  ini telah berdiri secara kokoh sejak Proklamasi Kemerdekaan yang diikrarkan oleh para founding fathers kita pada Tanggal 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan dimaksud diperoleh  melalui serangkaian perjuangan heroik oleh  para Pahlawan Kusuma Bangsa yang telah gugur di medan bakti untuk merebut bangsa ini dari tangan para penjajah.
Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan itu tidak hanya dilakukan oleh sekelompok orang atau golongan atau etnis dan atau dari agama tertentu saja,  tetapi merupakan perjuangan rakyat semesta bangsa Indonesia dengan beragam identitas berupa suku,  agama, ras dan  antargolongan yang melekat pada diri setiap warga negara sebagai  semacam given atau pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pemberian itu merupakan Anugerah Ilahi  kepada setiap warga negara Indonesia  yang  tersebar  dari Sabang sampai ke Merauke, dari Miangas sampai ke Pulau Rote,  yang patut disyukuri dan semestinya tidak layak untuk dipersoalkan.
Keragaman kekuatan untuk memperebutkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia  dari tangan para penjajah itu,  telah diteguhkan dengan semangat persatuan dan kesatuan yang secara legendaris disebut dengan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Sebagaimana diketahui bersama bahwa, Â Bhineka Tunggal Ika yang tertulis dalam buku Sutasoma oleh Mpu Tantular pada abad 14 merupakan ungkapan yang mencerminkan adanya kehidupan yang beraneka ragam, Â baik dalam agama maupun budaya. Â Falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika ini, Â menunjukkan bahwa, sebagai dasar pemikiran dan tindakan setiap manusia Indonesia seharusnya berwawasan kemajemukan.
Dikatakan demikian  karena, kemajemukan merupakan kekayaan diversifikatif yang sangat  berpengaruh terhadap penguataan watak bangsa sebagai soft skill suatu negara di zaman modern ini.
Sehubungan dengan hal itu,  maka sebagaimana dikatakan oleh Krisnina Maharani (1997) bahwa, tumbuhnya watak bangsa merupakan hasil proses interaksi antarpribadi, pribadi  dengan kelompok berdasarkan kesukuan dan interaksi dengan kebudayaan. Â
Interaksi antarmereka ini terjadi dalam proses kehidupan dan sejarah yang berlangsung  lama dan tidak pernah berhenti.  Kecuali itu, watak bangsa terbentuk dalam kaitannya dengan usaha manusia dalam mencapai cita-cita dan nilai luhur suatu bangsa.
Watak bangsa dapat juga dipandang sebagai identitas bangsa, identitas nasional atau karakter nasional yang menjadi energi positif untuk menjadi pemicu kemajuan suatu bangsa di berbagai bidang kehidupan dalam percaturan antarnegara di dunia.
Meskipun demikian, dalam beberapa dekade belakangan ini, watak bangsa yang dibingkai dengan semboyan Bhineka Tinggal Ika itu, Â tampak sedang mengalami ujian dari dan oleh dirinya sendiri, melalui tindakan dan perilaku Intoleransi dan Radikalisme yang ingin menegasikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia dalam prinsip dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Merdeka dan Merawat Kebinekaan
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang dirayakan pada hari ini, dapat menjadi momentum penting  untuk melakukan refleksi terhadap realitas kehidupan berbangsa dan bernegara  di Tanah Air Indonesia yang tercinta ini.
Refleksi dimaksud terkait dengan adanya bahaya yang tidak hanya bersifat laten,  tetapi sudah secara overt atau terbuka dan terang benderang  bahwa,  bangsa Indonesia sedang mengalami ujian berat sebagai suatu bangsa yang majemuk.
Berkenan dengan itu,  maka dengan meminjam Baharuddin (2017) dikatakan bahwa,  Indonesia sebagai identitas sedang dicabik-cabik oleh golongan tertentu dengan mengusung agenda terselubung untuk mengganti  Pancasila sebagai Ideologi Negara melalui gerakan dan penetrasi Idologi Khilafah yang berusaha untuk meniadakan keragaman masyarakat bangsa Indonesia yang dipersatukan dengan Semangat Gotong Royong  dan Bhineka Tunggal Ika.
Fenomena dan realitas seperti itu, nyata terasa dan tampak jelas kelihatan melalui kontestasi identitas (agama dan ras),  yang tidak hanya terjadi di Ibu Kota, tetapi juga menjalar ke sejumlah wilayah lain di seantero  negeri  ini.  Misalnya,  pernah di Jogyakarta, seorang Camat yang beragama minoritas ditolak oleh kelompok masyarakat yang beragama mayoritas. Â
Atau contoh lain yang telah menjadi tregadi memilukan dalam Pemilukada pada beberapa tahun lalu di Ibu Kota, yaitu kasus Ahok yang tampaknya tak pernah akan hilang di memori publik di Tanah Air dalam lintasan sejarah  bangsa Indonesia.
Contoh  yang disebut terakhir ini. memperlihatkan adannya kontestasi antarpihak dalam mendefinisikan ketidakpatuhan (non-compliance), dimana upaya negara untuk menggunakan sistem peradilan terbuka terus dirongrong dengan kelompok pembawa massa untuk mendesak negara mengikuti definisi yang dianutnya. Â
Dengan demikian, Â maka proses penegakkan regulasi untuk merawat semangat Bhineka Tunggal Ika harus melibatkan masyarakat sipil, untuk dapat mengawasi mekanisme dan prosedur penegakkan regulasi secara transparan dan akuntabel.
Dalam hubungannya dengan hal itu,  maka negara sebaiknya memfasilitasi keterlibatan perwakilan  masyarakat sipil dalam proses penilaian tindakan  untuk dikategorikan sebagai kepatuhan atau ketidakpatuhan dalam tindakan pelanggaran kemanusiaan.
Untuk dapat memahami hal tersebut di atas dalam konteks yang lebih luas,  maka dengan merujuk pada pendapat Edwin Wilmsen dalam karyanya  The Politics of Difference Ethnic Premise in A World of Power (1996), yang mengatakan bahwa,  kebinekaan seakan-akan hanya menjadi politik perbedaan yang menekankan sebuah kontestasi masing-masing individu  dengan motif menonjolkan dirinya sendiri sembari meminggirkan pihak lain.
Kemudian,  dalam kenyataan pada keseharian hidup  sebagai anggota masyarakat, terutama di ruang media sosial, kerap kali diksi kebinekaan hanya dijadikan sebagai jargon eksistensial secara sepihak yang digambarkan sebagai penegasan bahwa dirinya memang bebeda dengan pihak lain.
Situasi seperti ini  yang oleh Fathorrahman Ghufron (2017) dikatakan sebagai alasan untuk membangun jarak ketika berhadapan dengan pihak yang tak satu iman, tak satu suku,  tak satu kelompok,  dan tak satu paham dengan pandangan dan pemikirannya.
Â
 Intoleransi dan Merdeka Dalam Kebinekaan
Makna Kemerdekaan mestinya dipahami dalam konteks kebebasan untuk hidup berdampingan secara damai sebagai sesama anak bangsa yang berlatar multikultural dalam semboyan Bhineka Tinggal Ika.
Namun demikian, sebagaimana yang dipertanyakan oleh Zuly Qodir (2017), mengapa dalam realitas sosial keagamaan kita,  ada sekelompok orang  beragama yang tampak enggan menyebarkan dan mempraktikkan sikap menghargai,  menghormati, serta memanusiakan lyan yang berbeda agama,  keyakinan dan kepercayaan ?
Pertanyaan ini sudah tentu dapat membangun kesadaran baru bagi kita semua di peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
yang telah berusia 75 tahun  ini untuk dapat menjawabnya secara objektif.
Sudah menjadi semacam common sense bahwa, prinsip dan semboyan Bhineka Tunggal Ika di negeri ini sedang diinfeksi bukan oleh Virus Corona,  tetapi oleh penyakit menular yang amat berbahaya bagi bangsa Indonesia,  yaitu oleh dua penyakit yang bersaudara sepupu  yang disebut  sebagai  Virus Intoleransi dan  Radikalisme.
Tekait dengan  kedua hal tersebut  di atas,  maka Zuly  Qodir (ibid) mengatakan bahwa,  benih-benih intoleransi disinyalir 'menginfeksi' Bhineka Tunggal Ika karena masuk dan bercampurnya kepentingan politik melalui ruang privat agama-agama.
Agama yang mengajarkan kemuliaan,  keramahan,  kerjasama, saling menghargai, saling menghormati,  karena dirasuki kepentingan politik kelompok yang yang sifatnya  sering jangka pendek, alhasil menjadikan orang beragama-beriman menjadi tidak dapat melihat dengan jelas akan kebajikan dari agama-agama.
Kondisi seperti tersebut di atas yang menjadi fenomena sosial yang paling kelihatan  dan yang  amat dirasakan oleh masyarakat  dalam rentang waktu belakangan di negeri ini yang bernuansa multi etnis,  suku,  agama,  ras dan antargolongan (SARA).
Dalam sudut pandang yang amat terbatas, SARA tidak lagi dilihat  sebagai potensi dan kekuatan  serta  kekayaan bersama untuk membangun bangsa, tetapi justru cenderung  dilihat sebagai bagian dari masalah,  dan merupakan sumber serta akar dari Intoleransi dan Radikalisme yang sedang menggerogoti prinsip dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Dalam praktik dan kenyataan di berbagai negara di belahan dunia lain, seperti Suriah,  Sudan,  Maroko,  Aljazair,  Irlandia Utara,  bahkan India dan Pakistan, konflik kekerasan terus terjadi karena  orang yang berbeda terus dianggap sebagai orang lain.
Orang yang berbeda keyakinan,  pandangan politik,  serta suku ddianggap kurang memiliki hak untuk  hidup  di sana. Hal yang terjadi kemudian adalah penundukkan,  perlakuan  diskriminatif,  pengusiran,  bahkan pembunuhan antarwarga negara.
Memahami situasi yang terjadi di tempat dan atau negara lain seperti itu,  maka hal yang demikian  dapat menjadi cermin  sosial politik dengan  menjadikan semangat dan semboyan Bhineka Tubggal Ika untuk  mengisi Ruang Kemerdekaan Negara Republik Indonesia  dengan tetap menjaga Persatuan dan Kesatuan untuk menuju Indonesia Jaya. Dirgahayu Republik Indonesia,  Merdeka !
Goris Lewoleba
Alumni KSA X LEMAHANNAS RI, Â Direktur KISPOL Presdium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar dan Juru Bicara DPN VOX POINT INDONESIA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H