Randu-randu yang gagah duduknya,meranggas,
bulir kecambah berterbangan mencari cahaya senja,
musim ini musim nyanyian punakawan,
melagu nostalgia,
sedu-sedu dan menyedu rakyatku,
disimpan dalam saku, dan
sebelum malam beringsut fajar,matahariku
Pancaranmu adalah huruhara, dan wajahmu
sekumpulan rupa-rupa bianglala.
Duh...musim ngeri,
bukit kerontang menggelepar isi kebon binatang
laut bergelombang, buruh-nelayan dibawah tiang pancang
mengorek-ngorek bebatuan,
bila ketemu akar panjang mulutnya menganga,
gemintang tak pasti,
tapi perut lapar mesti tetap pasti, lalu
matahari melaju ketepian cakrawala meyisakan gulana
sepi,
tempatku bertapa dibuaian emak, sesekali kutatap ia,
mataharimu mengarah ke mataku,
dari balik tapih emakku,
kapitalis panen peluh,menghisap cangklong
mengerogoti asparagus,dan
sungai darah mengalir dari mataair, mata rakyatku.
Gresik, 13 September 2018
Rasull abidin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H