Mohon tunggu...
Akhmad Gojali
Akhmad Gojali Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister Akuntansi, Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. NIM : 55521110035 Akhmad Gojali, Universitas Mercu Buana, Jakarta

Mahasiswa Magister Akuntansi Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. NIM : 55521110035 Nama Mahasiswa : Akhmad Gojali Universitas Mercu Buana, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Sub-CPMK 3, Sengketa Perpajakan (CPMK 2)

5 April 2022   09:58 Diperbarui: 16 April 2022   21:54 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pendahuluan

Indonesia merupakan rechstaat atau negara hukum, artinya Indonesia menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada kehendak pribadi penguasa atau penyelenggara negara (pemerintah) melainkan pada hukum, hal tersebut merupakan bagian dari konsekuensi dari ajaran kedaulatan hukum. Indonesia sebagai Negara hukum merupakan negara yang berlandaskan pada hukum dan menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Konsep tersebut telah tertuang semenjak Indonesia merdeka dengan memberlakukan UUD 1945, UUD 1949 (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), UUD Sementara 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945 dan amandemen UUD 1945 pada tahun 2001 konsepsi negara hukum tetap dianut Indonesia.

Pada Pasal 1 UUD 1945 menegaskan bahwa : 1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, 2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, 3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Kita sebagai warga Negara Indonesia, kita harus benar-benar memahami, menyadari dan menghayati mengenai bentuk dan kedaulatan Negara Indonesia.

Indonesia adalah Negara hukum sangat tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hal tersebut memberikan jaminan hukum bahwa penyelenggaraan Negara/Pemerintahan dan segala bentuk hubungan antara pemerintah dan rakyat harus diatur dengan ketentuan undang-undang, antara lain mengenai APBN, Pajak dan Pungutan lain, Kekuasaan Kehakiman, HAM. Negara Hukum menghendaki agar setiap tindakan penguasa haruslah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Tujuan adanya konsep Negara hukum adalah suatu keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap HAM dari tindakan sewenang-wenang para penguasa.

Sebagai contoh pemungutan pajak dari rakyat sangat berkaitan dengan hak asasi manusia sehingga bila pemerintah memungut pajak tanpa dasar Undang-undang maka tindakan tersebut dapat dianggap sewenang-wenang.

Para pendiri bangsa Indonesia sangat menyadari tentang hal tersebut, sehingga mengenai perpajakan, dalam UUD 1945, dengan sangat tepat dan bijaksana ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (2) "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang". 46 tahun kemudian setelah perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, Pasal 23 ayat (2) dirubah menjadi Pasal 23A yang berbunyi sebagai berikut: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-undang". Substansi ketentuannya tetap sama bahkan diperluas, tidak hanya pajak tapi ditambah dengan pungutan lain dan lebih ditegaskan bahwa pajak dan pungutan yang bersifat memaksa tersebut harus diatur dengan Undang-undang.

Dalam bukunya "Philosophie des rechts" karya Friederich Julius Stahl suatu Negara Hukum harus memenuhi 4 unsur penting, yaitu:

1) Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM);

2) Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan;

3) Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4) Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.

Secara prinsip Negara Republik Indonesia telah memenuhi semua unsur-unsur tersebut, sehingga Indonesia sudah sebagai Negara Hukum baik dalam arti formal maupun material.

Sengketa Pajak

1.  Keberatan Pajak

Keberatan Pajak adalah Upaya yang dapat ditempuh wajib pajak yang kurang atau tidak puas, atau tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan pajak yang terutang dalam ketetapan pajak maupun atas pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.

Berdasarkan Pasal 25 UU KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

a.  Permohonan Keberatan diajukan hanya terhadap :

  1. SKPKB (Surat Ketetapan Kurang Bayar);
  2. SKPKBT (Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan);
  3. SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil);
  4. SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar)
  5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Permohonan Keberatan diajukan dengan ketentuan:

  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar perhitungan tersebut;
  3. Satu Keberatan diajukan hanya untuk satu SKP (Surat Ketetapan Pajak), untuk satu pemotongan pajak, atau untuk satu pemungutan pajak;
  4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar minimal sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Permohonan Keberatan disampaikan;
  5. Surat tersebut diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal: a) surat ketetapan pajak dikirim; atau b) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majure);
  6. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
  7. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.

Ketentuan khusus Keberatan :

  1. Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu tiga bulan terlampaui.
  2. Tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.
  3. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak yang masih harus dibayar yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi sebagaimana tercantum dalam SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) dan SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan), dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Mekanisme Penyelesaian Keberatan :

1.   Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk:

  • meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk softcopy dan/atau hardcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data dan informasi;
  • meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
  • meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
  • meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain bilamana diperlukan;
  • melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan;
    • Surat panggilan dikirimkan paling lama sepuluh hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
    • Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan.
  • melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.

2.   Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan dan/atau peminjaman paling lama lima belas hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim.

3.   Apabila sampai dengan jangka waktu lima belas hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim berakhir, Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan: a) surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau, b) surat permintaan keterangan yang kedua.

4.   Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua paling lama sepuluh hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang kedua dikirim.

Jangka Waktu Proses Keberatan :

  1. Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu paling lama dua belas (12) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan Keputusan atas keberatan yang diajukan. Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
  2. Apabila Wajib Pajak mengajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan, jangka waktu dua belas (12) bulan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
  3. Namun apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama satu (1) bulan sejak jangka waktu dua belas (12) bulan tersebut berakhir.

Pencabutan Pengajuan Permohonan Keberatan :

1.   Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima SPUH (surat pemberitahuan untuk hadir) oleh Wajib Pajak.

2.   Pencabutan pengajuan keberatan dilakukan melalui penyampaian permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan mencantumkan alasan pencabutan pengajuan keberatan tersebut;
  • surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus;
  • surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

3.   Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan berupa surat persetujuan atau surat penolakan.

4.   Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.

5.   Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan.

6.   Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan SKP tersebut.

Ketentuan Tambahan Keberatan :

Wajib Pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan:

1.   pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

2.   pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau

3.   pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:

  • penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan  (SPHP) atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau
  • pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak.

1.   Banding dan/atau Gugatan Pajak

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.

Banding

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak).

Objek Banding adalah Surat Keputusan Keberatan (KEP), yaitu surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Syarat-syarat Pengajuan Banding sesuai dengan Pasal 35 -- 37 UU PP, sebagai berikut :

  • Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
  • Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
  • Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi krn keadaan di luar kekuasaan Pemohon
  • Terhadap satu Keputusan diajukan satu Surat Banding.
  • Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
  • Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding (KEP).
  • Banding hanya dapat diajukan apabila besarnya jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh per seratus) dengan melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau Pemindah Bukuan (PBK.
  • Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.

Berikut alur proses banding dengan acara biasa :

*)  Apabila Terbanding dan/atau Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan untuk penyampaian SUB dan/atau SB, PP tetap melanjutkan pemeriksaan banding.

**)   Jangka waktu putusan pemeriksaan atas banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dalam hal-hal khusus dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

Gugatan

Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (Pasal 1 angka 7 UU Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak).

Objek Gugatan adalah :

  1. Pelaksanaan Surat Paksa (SP), Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
  2. Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
  3. Keputusan yang berkaitan dgn pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yg ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan pasal 26 Undang-Undang KUP; atau
  4. Penerbitan surat ketetapan pajak (SKP) atau Surat Keputusan Keberatan (KEP) yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Syarat-syarat Pengajuan Gugatan sesuai dengan Pasal 40 -- 41 UU PP sebagai berikut :

  1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
  2. Jangka Waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
  3. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
  4. Pengecualian batas waktu karena keadaan di luar kekuasaannya dengan perpanjangan paling lama 14 hari sejak berakhirnya keadaan tersebut.
  5. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.
  6. Disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau Keputusan yang digugat.
  7. Dilampiri salinan keputusan/dokumen yang digugat.
  8. Diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, sorang pengurus, atau kuasa hukumnya.

Berikut alur proses gugatan dengan acara biasa :

*)   Apabila Tergugat dan/atau Penggugat tidak memenuhi ketentuan untuk penyampaian ST dan/atau SB, PP tetap melanjutkan pemeriksaan gugatan.

**)   Jangka waktu putusan pemeriksaan atas banding diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dan dalam hal-hal khusus dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

Pemeriksaan Acara Biasa

Sesuai dengan Pasal 49 UU PP :

  1. Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis.
  2. Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum.
  3. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan Banding atau Gugatan.
  4. Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang bukan merupakan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6), kelengkapan dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam persidangan.

Pemeriksaan Acara Cepat

Sesuai dengan Pasal 65 UU PP :

1.   Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

2.   Pemeriksanaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:

  • Sengketa Pajak tertentu; yaitu sengketa pajak yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pengajuan Banding atau Gugatan;
  • Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2);
  • tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dalam putusan Pengadilan Pajak;
  • sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak.

3.   Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah Sengketa Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6).

4.   Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak dilakukan tanpa Surat Uraian banding atau Surat Tanggapan dan tanpa Surat Bantahan.

5.   Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga untuk pemeriksaan dengan acara cepat.

Pembuktian Banding/Keberatan Pajak :

Sesuai dengan Pasal 69 UU No. 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak :

  1. Alat bukti dapat berupa: a)  Surat atau tulisan; b) Keterangan ahli; c) Keterangan saksi; d) Pengakuan para pihak; e) Pengetahuan hakim;
  2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Pencabutan Banding dan/atau Gugatan Pajak

Banding dan Gugatan dapat dicabut :

  1. Dengan surat pernyataan
  2. Dihapus dari daftar sengketa dengan : a) penetapan Ketua bila belum disidangkan., b) Putusan Majelis/Hakim tunggal bila sudah disidangkan dan atas persetujuan Terbanding.
  3. Banding dan Gugatan yang dicabut tidak dapat diajukan lagi.

Sesuai dengan Pasal 39 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Jenis Putusan Banding dan/atau Keberatan :

Jenis Putusan menurut Pasal 80 Uu No. 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak :

  1. Menolak;
  2. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
  3. Menambah pajak yang harus dibayar;
  4. Tidak dapat diterima;
  5. Membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan hitung, dan/atau;
  6. Membatalkan.

3.   Peninjauan Kembali (PK) Pajak

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.

Sesuai dengan Pasal 77 ayat (3) dan Pasal 89 UU PP, atas Putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) oleh para pihak dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak;
  2. Diajukan paling lambat dalam jangka waktu 3 bulan;
  3. Hanya dapat dimohonkan satu kali;
  4. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak;
  5. Dapat dicabut sebelum diputus dan tidak dapat diajukan lagi.

Sebab-sebab Pengajuan PK :

  1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan/tipu muslihat;
  2. Terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan;
  3. Putusan Pengadilan Pajak mengabulkan suatu hal yg tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya; dan/atau
  5. Putusan nyata-nyata tdk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai dengan Pasal 91 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Jangka waktu proses pengajuan :

  1. Untuk alasan pengajuan PK huruf a diatas, diajukan paling lambat tiga (3) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak Putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Untuk alasan pengajuan PK huruf b diatas, diajukan paling lambat tiga (3) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  3. Untuk alasan pengajuan PK huruf c, d dan e, diajukan paling lambat tiga (3) bulan sejak Putusan dikirim.

Jangka waktu proses Keputusan :

  1. Dalam jangka waktu enam (6) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
  2. Dalam jangka waktu satu (1) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
  3. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pencabutan Permohonan PK :

Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan jika sudah dicabut, maka permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

Daftar Pustaka

  1. Undang -- Undang Dasar 1945;
  2. Undang -- Undang No. 6 Tahun 1983 sttd Undang Undang No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
  3. Undang -- Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (UU PP);

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun