Mohon tunggu...
Grant Gloria Kesuma
Grant Gloria Kesuma Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Mari menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obat Nyamuk

15 Oktober 2021   23:12 Diperbarui: 15 Oktober 2021   23:27 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu aku sedang membaca novel yang sudah lama aku beli namun selalu tak sempat membacanya. Hari ini akhirnya aku bisa libur dan menikmati kegiatan yang aku suka. Baru beberapa lembar aku membaca tiba-tiba terdengar suara berdenting dari ponselku. Tanda ada pesan masuk. Aku meraih ponselku untuk melihat siapa yang mengirim pesan. Ternyata dari Miyana, teman kuliahku.

"Hai, Ri! Kamu luang, kan, hari ini? Yuk, kita jalan-jalan naik LRT!" bunyi pesan itu.

"Aku lagi baca novel. Sudah lama novel ini teronggok dalam lemari. Kasihan sampulnya jadi lusuh," balasku.

"Aiih, kamu ini! Bukankah kamu sudah lama pengin banget naik LRT? Itu masuk dalam daftar keinginan kamu tahun ini, kan?" 

Aku tersentak kaget menatap balasan dari Miyana. Bagaimana dia tahu bahwa naik LRT masuk dalam daftar keinginan yang ingin aku wujudkan tahun ini? Aku berpikir keras. Lalu aku teringat aku pernah menulisnya di blogku. Itu tentang resolusi tahun baru.

Jadi, dia juga kepoin blogku setelah kepo dengan semua akun media sosialku. Sebenarnya aku merasa risih dengan temanku yang satu ini. Semua temanku di media sosial yang aku yakin dia nggak kenal bisa berteman dengannya. Pernah kutanyakan padanya dan dia menjawab, "Memangnya aku nggak boleh berteman juga dengan mereka? Apa salahnya memperluas pertemanan?" Ah, ya. Aku salah. Nggak boleh melarang dia berteman. Tapi setelah Miyana berteman dengan mereka, teman-temanku lebih akrab dengannya. Aku jadi obat nyamuk saja di antara mereka.

Ting! Ponselku berdenting lagi. Miyana kembali mengirim pesan, "Ayo, kita pergi naik LRT! Aku tunggu di stasiun Bandara pukul 2 siang ya!"

"Sama siapa saja?" balasku.

"Cuma kita aja. Ayolah. Temani aku. Aku juga sudah lama pengin naik LRT," jawabnya.

Aku berpikir lama sebelum menbalas pesannya. Sepertinya ini bukan ide buruk. Toh, aku jadi bisa mencoret satu nomor dari daftar keinginanku. Akhirnya aku mengetik kata OKE dan mengirimnya pada Miyana.

Aku melirik ke penunjuk waktu berwarna merah yang tergantung manis di dinding kamarku. Sudah pukul 1. Aku harus segera bersiap-siap. Dalam hati aku mengomel kenapa aku bisa mengiyakan ajakan Miyana tanpa melihat jam dulu. 

Duh, kenapa sih aku selalu mengiyakan ajakannya? Padahal dia selalu tiba-tiba mengajak jalan. Beda dengan aku yang tidak suka dengan kegiatan dadakan. Aku harus mempersiapkan segala sesuatu dari jauh hari.

Pukul 2 tepat aku tiba di stasiun yang disebutkan Miyana. Aku mencarinya ke sana ke mari tapi tak menemukan sedikit pun jejak kakinya. Hmm... jangan-jangan dia belum sampai? Kebiasaan lama Miyana. Kalau janjian jam sekian selalu telat paling tidak 15 menit. Padahal dia yang mengajak, tapi dia juga yang selalu ngaret. Dasar aneh!

Benar sekali dugaanku. 15 menit kemudian Miyana baru tiba. Tapi... tunggu dulu! Siapa yang ada di belakangnya? Cowok tinggi berkulit sawo matang itu... 

"Hai, Ri! Maaf aku telat. Aku tadi nungguin Derino dulu!" kata Miyana dengan napas tersengal-sengal.

Oh, jadi cuma kita aja itu maksudnya aku, Miyana, dan pacarnya. Ckckck! Namun aku menjawab, "Oke. Nggak apa-apa. Baru lima belas menit saja, kok."

"Derino mau ikut juga naik LRT. Nggak apa-apa, kan?" tanyanya.

"Oh, nggak masalah. Ayo beli tiketnya!" jawabku. Dalam hati aku mengumpat, 'Ya nggak mungkin, kan, si pacar kesayangan ini aku suruh pulang karena kehadirannya bakal mengganggu. Yang janjian itu, kan, aku dan Miyana. Kok si pacar ini bisa ikut juga, sih! Sebel! Dasar obat nyamuk!'

Setelah tiket ada di tangan, kami menunggu kedatangan kereta di ruang tunggu. Selama menunggu, Miyana dan pacarnya berfoto-foto ria tanpa mempedulikan aku. Mereka asyik senyum-senyum haha-hihi berdua. Sementara aku mengembuskan napas panjang tanda tak suka. Akhirnya aku berswafoto untuk mengurangi rasa kesalku.

Tak lama kemudian kereta tiba. Petugas stasiun mempersilakan kami untuk naik. Aku mengikuti Miyana dan pacarnya masuk ke dalam kereta. Miyana memilih kursi yang tidak jauh dari pintu. Aku memilih untuk duduk agak jauh dari mereka.

"Eh, dekat sini saja. Kenapa duduk jauh-jauh?" kata Miyana.

"Di situ bisa lihat pemandangan lebih jelas," jawabku. Namun Miyana memaksaku duduk selang satu kursi di sampingnya. Akhirnya aku duduk di kursi yang ditunjuk oleh Miyana.

"Kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Susah banget kalau mau ajak kamu jalan. Sudah lama banget kita nggak jalan bareng!" cecar Miyana.

Dalam hati aku berkata, 'Bukannya lo yang super sibuk? Kok malah memutar balik fakta?'

"Hmm.. beda banget ya kamu sekarang. Banyak kegiatannya dan nggak ada waktu lagi buat kumpul-kumpul dengan teman-teman kuliah," katanya lagi.

"Sekarang lagi masa pandemi. Nggak boleh kumpul-kumpul!" jawabku. Aku merasa risih saat Miyana mulai menyindir-nyindir. Kebiasaannya ini tidak berubah. Ia sering menyindir sesuatu yang tidak dia ketahui faktanya seperti apa. Tidak tahu masalahnya apa tapi langsung membuat asumsi sendiri.

"Oh, ya, beberapa waktu lalu ada acara makan bersama teman-teman kuliah. Ya teman-teman kita aja! Kamu tau sendiri, kan, kelompok kita nggak banyak. Tapi kamu nggak ikut. Sayang banget!" ujarnya.

"Acara? Kapan itu? Nggak ada yang memberitahu aku, lho!" kataku.

"Eh? Masa? Waduh, aku pikir semua sudah memberitahu kamu!" jawabnya. 

"Nggak ada. Tapi biarlah. Toh, ini lagi pandemi. Aku nggak mau ikut acara keramaian," balasku. 

Lalu aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Ini sudah biasa terjadi. Mereka bikin acara sendiri dan nggak mengajakku. Mereka selalu berasumsi aku sibuk, padahal mereka sendiri yang nggak berminat mengajakku. Kalau aku ikut acara bersama mereka, paling-paling aku jadi obat nyamuk. 

Aku melirik ke arah Miyana. Sekarang dia dan pacarnya sedang sayang-sayangan. Si pacar mengelus-elus kepala si Miyana. Miyana tersenyum tersipu-sipu. Cih! Menyebalkan! 

Aku mengambil ponselku dari dalam tas. Lalu kubuka aplikasi permainan. Lebih baik main hape saja daripada mainin hati teman. Setelah bosan bermain, aku memotret pemandangan di luar. Untunglah banyak pemandangan yang bagus di luar, lebih bagus dari memandangi sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara sampai-sampai ditegur oleh bapak penjaga kereta.

"Dik, tolong duduknya diberi jarak, ya! Bisa lihat, kan, tanda silang yang ada di kursi? Tanda silang itu nggak boleh diduduki! Trus maskernya dinaikkan! Jangan turun kayak gitu!" hardik bapak penjaga.

Dalam hati aku berkata, 'Bapak kayak nggak pernah muda aja! Orang yang sedang jatuh cinta itu prinsipnya jangan ada jarak yang memisahkan kita, Pak! Penduduk asli di muka bumi ini cuma milik mereka berdua. Yang lain cuma ngontrak!'

Aku kembali memandang ke luar jendela sambil berpikir, 'Di luar sana, apa ada orang lain yang sering dijadikan obat nyamuk sepertiku?' Kuharap aku tidak sendiri. Kuharap masih banyak obat nyamuk-obat nyamuk di luaran sana yang jika dikumpulkan akan menghasilkan asap yang cukup untuk membuat sesak kaum-kaum yang membuat para obat nyamuk terbengkalai. 

Tapi...

Dalam hidup ini ada banyak pilihan, kan? Seharusnya aku bisa memilih untuk tidak menjadi obat nyamuk lagi. Ya! Aku nggak mau! Lain waktu, jika teman-temanku memperlakukanku seperti ini lagi... Tinggal saja! Bukan aku yang obat nyamuk, tapi mereka!

screenshot-20210428-220934-whatsapp-6169a79c06310e274506f673.jpg
screenshot-20210428-220934-whatsapp-6169a79c06310e274506f673.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun