Saya bertanya kepada Mbak Agis, ternyata teman-temannya ngekos di berbagai tempat, di Radio Dalam misalnya. Setiap berangkat kerja, setiap malam angkot-angkot ini akan mengantarkan mereka dan juga menjemput mereka pulang ke rumah masing-masing. Tak heran jika seketika mobil-mobil mahal yang terparkir semakin malam tersingkir oleh angkot-angkot charteran. Ternyata angkot itu memang sudah disediakan oleh pemilik rumah bar atau karaoke untuk pekerja-pekerjanya.
Saya melihat adanya tirani kekuasaan disini, dimana yang berkuasa adalah bos-nya. Sehingga bos bisa menyediakan semua kebutuhan pekerja, asalkan bekerja mau melayani tamu-tamunya. Unik ketika ditanya soal pekerjaan, Mbak Agis merasa pekerjaan ini sebanding dengan yang mereka lakukan.
“Lebih dari cukup, lebih worth it. Kerja Cuma 4-5 jam saja tetapi hasilnya besar banget,” ujarnya sambil ketawa-ketawa cekikikan. Saya dan Adi menilai itu adalah pandangan lumrah.kebutuhan akan makan dan minum membuat mereka memilih melakukan pekerjaan itu. Tidak ada konteks moralitas ketika dihadapkan pada benturan akan ketidaksejahteraan manusia. Bisa jadi, mucikari utama adalah negara sendiri karena tidak memberdayakan komponen perempuan dengan baik dan membiarkan perempuannya dijajah dalam segala aspek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H