Sejujurnya saya sangat akrab dengan kawasan Blok M mengingat ketika saya SMA, saya selalu pulang pergi dari terminal Blok M. Siapa sangka, ternyata arena lokalisasi yang dimaksudkan teman saya adalah kawasan Jepang, yang mana syaa sendiri pernah meliput Festival Ennchisai tahun 2011, festival kebudayaan Jepang di Blok M Square. Kala itu mungkin pagi hari jadi cerminan kehidupan malam tak terasa nyata, tetapi malam ini saya menemukan wajah lain dari kawasan Blok M yang banyak menyentuh dimensi masa remaja saya dulu.
Saya dan Adi berjalan memasuki tempat itu, di depan sudah ada bar dan tempat karaoke bernuansa Jepang. Di pintu masuk tentu saja ramai dengan mbak-mbak yang sudah berdandan dengan sangat cantik dan berpakaian serba mini dengan make up tebal dan rambut panjang terurai. Pria-pria Jepang keluar masuk dan memberi salam kepada perempuan-perempuan itu.
Saya sempat terkejut ketika berdiri di sebuah tempat karaoke, bernama Junko, karena saya pernah masuk ke tempat karaoke itu bersama teman saya. Itu adalah tempat karaoke yang dikelola oleh tante dari teman saya saat SMA. Saat itu sepulang sekolah, saya diajak oleh teman saya berjumpa dengan tantenya yang katanya punya bisnis karaoke di Blok M. Saat berdiri di depan tempat karaoke Junko yang ramai dengan tiga orang perempuan berbaju seksi dengan menyapa tamu yang lewat menggunakan bahasa Jepang, tiba-tiba keluarlah perempuan berpakaian pesta, yang saya kenali sebagai tantenya teman SMA saya. Spontan saya kaget, namun sepertinya si tante tidak lagi mengenali saya.
Saya dan Adi lalu berkeliling, kawasan itu terbuka untuk umum sebagai tempat hiburan malam yang terdiri dari tempat karaoke, bar, hotel, dan rumah makan Jepang. Orang-orang Jepang begitu ramai, saya dan Adi pun mencoba bertanya pada salah seorang tukang rokok yang berjaga di depan karaoke.
“Mas, ini semua tamunya orang Jepang ya?”
“Iya Mbak. Disini orang Jepang semua. Kalau di Blok M yang di depan itu, untuk orang bule,” ungkap mas mas tersebut.
Mas itu memang sudah lama berjualan di Blok M Square. Dia juga membeberkan bahwa rata-rata karaoke disini sampai jam 1 malam, setelah lewat dari jam 1 pagi semua sudah bubar. Saya dan Adi memutuskan apapun yang terjadi, malam ini kami harus berhasil berdialog dengan salah seorang pekerja malam itu.
Saya dan Adi mencoba membunuh waktu dengan makan sate, kami pun berbincang-bincang dengan tukang sate. Ia juga membeberkan bahwa disana memang arena “lokalisasi’ tetapi rata-rata untuk para warga asing khususnya Jepang. Para pekerja bisa diajak berdialog setelah jam 1 malam.
Saya dan Adi menunggu, siapa sangka tepat jam 1 berbondong-bondong ramai perempuan-perempuan itu keluar dari ruang kerjanya masing-masing. Saya dan Adi mencoba mendekati tiga orang perempuan yang baru keluar, namun sayang mereka menghindari kami. Pantang menyerah, saya dan Adi mencoba kembali ke tempat tukang sate yang mulai ramai dengan para pekerja seks. Adi mulai beraksi dengan merokok untuk mencairkan suasana di tengah para perempuan yang juga merokok itu. Datanglah dua orang perempuan mendekati tukang sate, saya mencoba meminta Adi untuk mendekati tukang sate dan minta bantuannya untuk memulai diskusi.
Adi pun berhasil berbincang dengan Mbak Agis, salah seorang pekerja di karaoke Maimu. Mbak Agis ini ternyata bekerja di rumah karaoke Maimu. Saya dan Adi mengaku tengah menunggu salah seorang teman juga. Mbak Agis membeberkan memang kawasan ini untuk orang Jepang, dan bahkan ada bar yaitu ‘Jawa-Jawa’ yang hanya menerima tamu orang Jepang. Mbak Agis juga sempat menawarkan kepada Adi untuk datang besok karena ada sexy dancer.
Mbak Agis mengaku tinggal di Depok bersama ibunya. Ketika saya menanyakan soal keluarga, saat itulah saya merasa dia mulai merasa risih dan raut wajahnya berubah menjadi sedih. Sebelum bekerja di Maimu, dia mengaku sudah bekerja di tempat karaoke lain. Namun karena tempat kerjanya pindah, dia pun ditawarkan masuk ke Maimu saja. Mbak Agis pulang bersama temannya ke Depok, sementara banyak teman-temannya yang lain naik angkot.