Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pekerjaan Ini, Worth It Kok...

26 Maret 2015   01:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua pasang mata menyusur ke arah kami, maklum saja, kami pasti warga asing yang sepatutnya mereka curigai. Sampai di ujung lorong itu masih ada jalan ke kiri yang tembus ke perumahan penduduk dan masuk ke lorong baru. Lorong yang sama, lorong panti pijat dan hotel. Saya dan Adi memutuskan untuk masuk ke arena perumahan penduduk yang berada tepat di belakang arena lokalisasi tertutup itu.

Kawasan rumah penduduk ini penuh dengan motor. Anak-anak muda, hingga orang dewasa masih terjaga dan semua warung masih dibuka padahal itu sudah jam 11 malam menuju pergantian hari. Adi mengajak saya beli makan atau minum di salah satu warung. Adi berbisik, banyak pasang mata lelaki muda yang duduk diatas motor yang memenuhi jalan itu memandang saya. Mereka menyisir pandangan dari bawah ke atas. Merasa risih, Adi pun mengajak saya keluar dari kawasan rumah golongan kelas menengah ke bawah itu.

Saya dan Adi lalu duduk di Sevel Mangga Besar sembari menunggu kelarnya para PSK  bekerja. Di Sevel kami menjumpai juga beberapa orang dengan perilaku yang bagi kami cukup unik, dan kami mencoba berasumsi bahwa mereka adalah PSK untuk sesama jenis. Lalu kami berpindah ke rumah makan padang ketika mendekati jam 3 malam. Saya lalu mencoba bertanya kepada pelayan restoran padang kapan panti pijat ditutup, dia berkata panti pijat sudah tutup sejak sore. Padahal jelas jelas tadi malam saya masuk ke dalam itu masih ada. Mungkin mereka memang saling menjaga kerahasiaan disini, pikir saya dan Adi.

Ketika tepat jam 3, kami pun beranjak kembali ke lorong lokalisasi itu, mami yang sedang bersama para PSK nya itu langsung melihat kami dengan pandangan curiga. Berhentilah sebuah mobil avanza, ia membuka kaca dan perempuan itu menunjuk perempuan-perempuan di belakangnya. Seolah tengah terjadi tanya jawab antara dia dengan supir mobil untuk memilih perempuan itu.

Saya dan Adi pukul 3 memasuki arena lokalisasi setelah di rumah makan padang kami menjumpai beberapa lelaki yang baru keluar dari arena lokalisasi dan membeli makanan. Arena lokalisasi yang awalnya gelap namun ramai dengan suara musik seketika menjadi sepi dan tidak ada mobil bagus yang masih terparkir. Para PSK juga banyak yang pergi dan atau hanya masih duduk duduk bersama PSKnya.

Kami memang menemukan ketakjuban dalam wisata malam kami kala itu, bahwa ada kesenjangan antara kehidupan para PSK. Bahwa di balik dinding tembok kehidupan glamor ada lapisan dinding kehidupan yang miskin dan dibawah rata-rata kelas menengah. Permukiman kumuh di belakang area lokalisasi menguatkan asumsi kami bahwa bisa jadi ketidaksejahteraan menjadi dalang utama alias mucikari utama yang memaksa para PSK ini berlaku sedemikian rupa.

Saya dan Adi dengan kecewa melangkah pulang karena kami tidak berani untuk menanyakan kepada PSK tersebut. Pertama, karena kami selalu dipandang dengan penuh kecurigaan oleh beberapa ‘mami’ disana. Sungguh pemandangan yang bagi kami tidak mengenakkan. Kedua, karena kami tidak menemukan PSK yang sedang duduk atau berdiri seorang diri sehingga mudah bagi kami untuk memulai dialog.

Saya dan Adi pun memutuskan obervasi hari ini harus dilanjutkan dengan melakukan observasi berikutnya di tempat yang berbeda. Entah di Jatinegara, entah di Tanah Abang, atau di Blok M.

Jakarta, 26 November 2014

Saya dan Adi bersama Bang Haposan memutuskan untuk melanjutkan observasi dan wawancara di Blok M. Sederhana saja, alasan pertama karena di Tanah Abang dan Jatinegara banyak premannya, sehingga demi keamanan bersama Bang Haposan menyarankan kami pindah haluan ke Blok M saja.

Saya dan Adi berangkat duluan ke Blok M. Sejujurnya, saya dan Adi pun tidak tahu dimana letak pasti dari arena lokalisasinya, kasus yang serupa dengan di Mangga Besar. Tak heran jika akhirnya saya kembali mengharapkan keberuntungan dari langkah kaki. Saya hanya ingat ketika salah seorang teman saya yang pernah observasi PSK menyatakan arena lokalisasi di blok M bisa ditemukan di Blok M Square.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun