Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer | SEO Content Writer

I am a learning person who enjoys sharing reviews about phenomena that occur in the universe. Hopefully what is shared will bring blessings to me and be useful for many people.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tren Throning di Kalangan Gen Z: Cinta yang Rasional atau Ilusi Status Sosial?

31 Desember 2024   19:26 Diperbarui: 4 Januari 2025   14:57 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi throning jadi tren gen z dalam memilih pasangan: antara cinta yang rasional dan ilusi status sosial. (Gratispik/Freepik) 

Pernah mendengar kata throning dalam dunia percintaan anak muda Gen Z? Belakangan ini, perkembangan teknologi dan media sosial terus melahirkan berbagai tren atau fenomena, termasuk dalam ranah asmara. 

Sama halnya dengan fenomena lainnya, meskipun terkesan sekedar seru-seruan, throning menarik untuk dikaji, karena pada dasarnya menggambarkan realitas dan cara berpikir modern dalam memandang sesuatu hal. 

Setelah trennya budaya hubungan tanpa status, tapi yang menjadi sorotannya bukan perihal 'dosa'nya, melainkan sebuah trauma psikis berupa ketakutan menjalin komitmen yang serius atau bahkan manipulasi rasa dan egoisme semata. 

Kemudian, muncullah istilah seperti benching, breadcrumbing, gaslighting dan lain-lain, sejumlah istilah ini menggambarkan dinamika hubungan percintaan zaman sekarang yang dinilai semakin kompleks.  

Adapun, istilah yang menjadi sorotan di kalangan Gen Z yaitu Throning, bahkan dinobatkan sebagai salah satu pencarian terpopuler dalam dunia kencan sepanjang 2024 berdasarkan data dari Google Trends. 

Lantas, apa sebenarnya makna di balik throning ini, dan apa saja faktor penyebabnya, serta kekurangan dan kelebihannya dalam beberapa aspek?  

Makna Istilah Throning

Secara harfiah, throne berasal dari Bahasa Inggris yang berarti "takhta", singgasana, tempat duduk raja, kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya yang menunjukkan pada makna kekuasaan. 

Dalam konteks hubungan asmara, throning merupakan fenomena di mana seseorang memilih pasangan berdasarkan nilai strategis yang dapat meningkatkan status sosial, popularitas, atau pengaruh di masyarakat.  

Tentunya hal ini bukan konsep baru. Namun, berbeda dengan konsep gold digger atau materialistik yang fokus pada keuntungan materi seperti uang dan kekayaan, throning terkesan lebih melibatkan berbagai aspek non-materi. 

Di mana pasangan tidak hanya dinilai dari kemampuan finansial, tetapi juga pengaruh pada status sosialnya di media sosial, jejaring profesional, ataupun hal lain yang berpotensi mendukung pencitraan pribadinya. 

Sebagai contohnya, pada saat ini terdapat banyak kasus di kalangan influencer, di mana orang mengesampingkan aspek emosional dengan berbagai gimmick untuk membuat status influncernya langgeng dan semakin populer. 

Istilah throning juga ada kaitannya dengan panjat sosial atau pansos, yang sebenarnya tidak hanya terjadi pada tokoh populer. Namun pada orang-orang berbagai kalangan yang menjadikan cinta sebagai alat transasional yang menguntungkan statusnya. 

Studi dari University of Southern California (2023) menunjukkan bahwa 48% Gen Z di Amerika mengakui bahwa mereka mempertimbangkan status sosial pasangan sebagai faktor penting sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan. 

Fenomena ini tentunya menggarisbawahi, adanya pergeseran nilai tradisional dalam hubungan romantis menjadi langkah yang lebih strategis untuk kehidupan seseorang. 

Perasaan dan Pencitraan di Era Media Sosial  

Media sosial telah mengubah lanskap hubungan romantis, membuat cinta tidak lagi sekadar persoalan emosional, melainkan juga branding pribadi. Di mana pasangan menjadi tolak ukur value yang dimiliki. 

Bahkan, istilahnya kini pasangan juga dianggap sebagai "aset digital" yang dapat meningkatkan citra diri seseorang di depan publik.  

Penelitian dari Pew Research Center (2023) mengungkapkan bahwa 72% Gen Z sering mempublikasikan hubungan mereka di media sosial. Namun, dari angka tersebut, 65% merasa tertekan untuk menunjukkan kehidupan asmara yang sempurna. 

Media sosial menjadi panggung publik yang mendorong seseorang untuk terus mencari validasi melalui like, komentar, atau pengakuan dari followers.  

Fenomena ini memunculkan istilah status signaling, di mana hubungan romantis tidak lagi bersifat personal, tetapi menjadi alat komunikasi sosial. 

Akibatnya, banyak pasangan lebih fokus pada bagaimana mereka terlihat di mata orang lain daripada pada kualitas hubungan itu sendiri.  

Dinamika Throning dalam Relationship

Meski terdengar strategis, hubungan berbasis throning tidak selalu berjalan mulus. Ketimpangan harapan menjadi salah satu sumber konflik utama. 

Pihak yang "ditakhtakan" sering kali merasa terbebani oleh ekspektasi pencitraan, sementara pihak "penobat" berharap mendapatkan pengakuan sosial yang berkelanjutan dari hubungan tersebut.  

Psikolog hubungan dari University of Michigan, Dr. Anne Goldstein, menjelaskan bahwa hubungan dengan dasar strategis cenderung memiliki risiko ketidakstabilan emosional. 

Penelitian yang dilakukan pada 2022 ini menunjukkan bahwa pasangan yang terlalu fokus pada validasi sosial memiliki tingkat ketidakpuasan hubungan 35% lebih tinggi dibandingkan pasangan yang menjunjung keterbukaan dan kejujuran.  

Konflik ini sering kali melibatkan perasaan tidak cukup dihargai secara emosional. Misalnya, pihak "penobat" mungkin merasa bahwa cinta mereka tidak tulus karena didasarkan pada tujuan strategis.

Sementara pihak yang "ditakhtakan" merasa bahwa hubungan tersebut hanya sarana untuk memenuhi ambisi pasangan mereka.  

Dampak Throning pada Angka Pernikahan di Indonesia

Fenomena throning tidak hanya memengaruhi hubungan romantis, tetapi juga berdampak pada angka pernikahan yang terus menurun. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat bahwa jumlah pernikahan di Indonesia pada 2023 hanya mencapai 1.577.255, turun 128.000 dari tahun sebelumnya.  

Selama satu dekade terakhir, angka pernikahan bahkan menurun drastis hingga 28,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak individu, terutama dari Gen Z, yang lebih selektif dalam memilih pasangan.  

Survei dari Alvara Research Center (2024) menemukan bahwa 62% responden Gen Z menganggap pernikahan bukan lagi prioritas utama. 

Mereka lebih memilih fokus pada pengembangan karier dan hubungan strategis yang dapat memberikan keuntungan emosional maupun sosial. 

Bagi mereka, pernikahan hanya akan dilakukan jika pasangan dianggap cukup "berharga" untuk masa depan.  

Realistis atau Idealis?

Tren throning membuka diskusi menarik, tentang apakah ini adalah bentuk realistis/ pragmatisme modern, atau sekadar ilusi idealisme status sosial yang terlalu tinggi? 

Di satu sisi, throning mencerminkan adaptasi terhadap realitas sosial dan ekonomi yang semakin kompetitif. Namun, di sisi lain, fenomena ini dapat mengaburkan makna cinta yang seharusnya murni dan tulus.  

Penelitian dari Harvard Business Review (2023) menunjukkan bahwa hubungan yang didasari pada strategi dapat memberikan keuntungan jangka pendek dalam hal status sosial. Namun, hubungan semacam ini sering kali gagal memberikan kepuasan emosional jangka panjang.  

Dengan demikian, throning menjadi sebuah pilihan hidup bagi sebagian orang, sebagai bentuk realistis dari hubungan di era modern, di mana cinta tidak bisa dilepaskan dari faktor eksternal seperti status dan pengaruh sosial. 

Namun, sebagian lainnya, fenomena ini dianggap terlalu idealis, dengan ekspektasi tinggi yang sulit dipenuhi dalam hubungan nyata. Terlepas dari benar dan salah, tentunya tergantung langkah setelahnya dan motif apa yang dicari cinta, citra atau keduanya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun