Selama satu dekade terakhir, angka pernikahan bahkan menurun drastis hingga 28,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak individu, terutama dari Gen Z, yang lebih selektif dalam memilih pasangan. Â
Survei dari Alvara Research Center (2024) menemukan bahwa 62% responden Gen Z menganggap pernikahan bukan lagi prioritas utama.Â
Mereka lebih memilih fokus pada pengembangan karier dan hubungan strategis yang dapat memberikan keuntungan emosional maupun sosial.Â
Bagi mereka, pernikahan hanya akan dilakukan jika pasangan dianggap cukup "berharga" untuk masa depan. Â
Tren throning membuka diskusi menarik, tentang apakah ini adalah bentuk realistis/ pragmatisme modern, atau sekadar ilusi idealisme status sosial yang terlalu tinggi?Â
Di satu sisi, throning mencerminkan adaptasi terhadap realitas sosial dan ekonomi yang semakin kompetitif. Namun, di sisi lain, fenomena ini dapat mengaburkan makna cinta yang seharusnya murni dan tulus. Â
Penelitian dari Harvard Business Review (2023) menunjukkan bahwa hubungan yang didasari pada strategi dapat memberikan keuntungan jangka pendek dalam hal status sosial. Namun, hubungan semacam ini sering kali gagal memberikan kepuasan emosional jangka panjang. Â
Dengan demikian, throning menjadi sebuah pilihan hidup bagi sebagian orang, sebagai bentuk realistis dari hubungan di era modern, di mana cinta tidak bisa dilepaskan dari faktor eksternal seperti status dan pengaruh sosial.Â
Namun, sebagian lainnya, fenomena ini dianggap terlalu idealis, dengan ekspektasi tinggi yang sulit dipenuhi dalam hubungan nyata. Terlepas dari benar dan salah, tentunya tergantung langkah setelahnya dan motif apa yang dicari cinta, citra atau keduanya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H