Di mana pasangan tidak hanya dinilai dari kemampuan finansial, tetapi juga pengaruh pada status sosialnya di media sosial, jejaring profesional, ataupun hal lain yang berpotensi mendukung pencitraan pribadinya.Â
Sebagai contohnya, pada saat ini terdapat banyak kasus di kalangan influencer, di mana orang mengesampingkan aspek emosional dengan berbagai gimmick untuk membuat status influncernya langgeng dan semakin populer.Â
Istilah throning juga ada kaitannya dengan panjat sosial atau pansos, yang sebenarnya tidak hanya terjadi pada tokoh populer. Namun pada orang-orang berbagai kalangan yang menjadikan cinta sebagai alat transasional yang menguntungkan statusnya.Â
Studi dari University of Southern California (2023) menunjukkan bahwa 48% Gen Z di Amerika mengakui bahwa mereka mempertimbangkan status sosial pasangan sebagai faktor penting sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan.Â
Fenomena ini tentunya menggarisbawahi, adanya pergeseran nilai tradisional dalam hubungan romantis menjadi langkah yang lebih strategis untuk kehidupan seseorang.Â
Perasaan dan Pencitraan di Era Media Sosial Â
Media sosial telah mengubah lanskap hubungan romantis, membuat cinta tidak lagi sekadar persoalan emosional, melainkan juga branding pribadi. Di mana pasangan menjadi tolak ukur value yang dimiliki.Â
Bahkan, istilahnya kini pasangan juga dianggap sebagai "aset digital" yang dapat meningkatkan citra diri seseorang di depan publik. Â
Penelitian dari Pew Research Center (2023) mengungkapkan bahwa 72% Gen Z sering mempublikasikan hubungan mereka di media sosial. Namun, dari angka tersebut, 65% merasa tertekan untuk menunjukkan kehidupan asmara yang sempurna.Â
Media sosial menjadi panggung publik yang mendorong seseorang untuk terus mencari validasi melalui like, komentar, atau pengakuan dari followers. Â
Fenomena ini memunculkan istilah status signaling, di mana hubungan romantis tidak lagi bersifat personal, tetapi menjadi alat komunikasi sosial.Â