Dalam penelitiannya, seorang ibu yang menjadi influencer, sering kali terlibat isu rekayasa konten, pemalsuan, eksploitasi, dan kebohongan lainnya, demi memenuhi ekspetasi orang lain, engagment hingga endorse.Â
Fenomena ini juga melahirkan para kidsfluencer, di mana anak sejak kecil anak dibentuk untuk menjadi influencer, tanpa mengetahui konsekuensi dan potensi yang akan datang ke depannya.Â
Melansir Forbes, pada Minggu (22/12), Hal ini mengingatkan pada fenomena kidsfluencer seperti Ryan Kaji, yaitu sosok YouTuber anak yang pada 2020 sudah menghasilkan lebih dari $29 juta.Â
Pada saat itu, kidsfluencer tersebut masih berusia 9 tahun dan sudah menghasilkan pendapatan melebihi penghasilan orang dewasa pada umumnya.
Tentunya, saat ini jumlah kidsfluencer semakin masif yang terkadang tidak terlepas dari adanya campur tangan orang tua. Sementara, anak seringkali tidak paham konsekuensi besar setelah menjadi tokoh populer.Â
Sharenting dan Konsep 'Banyak Anak Banyak Rezeki'
Lantas apakah dengan fenomena sharenting yang dapat dimonetisasi dan melahirkan lapangan kerja baru ini sejalan dengan konsep 'banyak anak banyak rezeki'?Â
Nyatanya, di tengah maraknya parentsfluencer di Indonesia sendiri, tidak membuat angka pernikahan menjadi naik, bahkan tren childfree pun justru malah semakin naik.
Berdasarkan data BPS 2023, childfree semakin meningkat, 8 persen perempuan, usia 15-49 tahun di Indonesia memilih tidak memiliki anak. Dan masyarakat pun semakin sadar pentingnya KB (Keluarga Berencana).Â
Ya, seiring dengan perkembangan sharenting, orang semakin sadar bahwa memiliki anak bukan hanya perihal membesarkannya, dan tentu bukan soal kuantitas tetapi kualitas.Â
Jika zaman dulu sering ditemukan para orangtua yang memiliki banyak anak, bahkan mencapai 8-10 anak, sekarang rupanya sudah sangat jarang ditemukan.Â