Sering kali, fenomena ini juga menciptakan ruang diskusi yang berkepanjangan mengenai gaya parenting. Kritik yang dulu dianggap tabu kini telah menjadi tren baru.
Sebenarnya, hal ini menjadi menarik dan penuh kreativitas, ketika pandangan tidak diberi ruang untuk disampaikan dengan baik atau bahkan sering kali ditolak. Media sosial menjadi solusinya.Â
Tidak jarang, kritik tersebut dikemas dalam bentuk sarkasme atau humor. Namun semakin ke sini, adanya validasi di sosial media yang membentuk kesepahaman bersama bahkan suatu komunitas, membuat lebih terbuka dan di luar batas.Â
Sebagai contoh, banyak konten yang menggambarkan kehidupan dewasa yang menyentil masa kecil kurang bahagia menjadi nostalgia yang unik. Â
Contohnya kata-kata implisist bernada lelucon seperti ini:Â
"Pas udah cari duit sendiri, ternyata sate satu bungkus boleh dimakan seporsi tanpa nasi,"
Namun terkadang konten seperti ini justru memicu perbincangan panjang yang mengarah pada betapa gagalnya orang tua memberikan kebahagian pada anak.Â
Atau terkadang sindiran seperti ini:Â
"Kalau dulunya tidak dilarang untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, mungkin tidak akan seberat ini, tumbuh sebagai invidu yang memendam semuanya sendirian."
Atau mungkin lebih parahnya lagi dengan terang-terangannya misuh-misuh sarkastik melalui threads, base atau lainnya, seperti,Â
"No salty guys, aku muak banget dengan gaya toxic parenting di keluargaku..."Â yang berlanjut oversharing.