Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer | SEO Content Writer

I am a learning person who enjoys sharing reviews about phenomena that occur in the universe. Hopefully what is shared will bring blessings to me and be useful for many people.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Viral! Tren 'We Listen, We Don't Judge': Ketika Kebodohan dan Kesalahan Diberi Ruang Ekspresi

30 November 2024   14:33 Diperbarui: 8 Desember 2024   16:16 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tren "We Listen, We Don't Judge" di media sosial. (Freepik/Lifestylememory) 

Belakangan ini, media sosial dihebohkan dengan sebuah tren baru, yaitu pengakuan rahasia berupa kebodohan atau kesalahan masa lalu dengan tajuk "We Listen, We Don't Judge." 

Sesuai dengan artinya "kami mendengar, kami tidak menghakimi," Tren ini fokus terhadap pentingnya mendengarkan orang lain dan memberikan kesempatan untuk bercerita, tanpa memberikan penilaian atau kritik. 

Awal Mula Tren "We Listen, We Don't Judge"

Tren "We Listen, We Dont Judge" Ini bermula dari akun Tiktok @bccczsv, menampilkan 4 remaja yang masih bersekolah, mereka mengungkapkan rahasianya satu persatu secara bergantian. 

Tak disangka, konten tersebut viral dan justru menjadi tren baru di kalangan para pengguna Tiktok, yang kemudian menyebar pembahasan dan penggunaannya ke platfrom-platfrom media sosial lainnya. 

Karena konten tersebut bermuatan sensitif yang diduga dapat mencemarkan nama baik sekolah, akun Tiktok @bccczsv pun menghapus konten tersebut dan membuat klarifikasi untuk mempulihkannya.  

Menariknya, tren ini justru diadopsi oleh influencer maupun pengguna media sosial pada umumnya di berbagai negara, sebagai konten hiburan dan menguji bonding dalam suatu hubungan, terutama pasangan kekasih. 

Tak sedikit, mereka yang join memakai tren "We Listen, We Don't Judge" Ini duduk bersebelahan bernuansa deep talk maupun humor dan mengungkap rahasia secara bergantian. 

Dari sekian juta akun yang join tren ini, melansir Dexerto, pada Sabtu (30/11/2024), Janie Ippolito bersama suaminya join tren dan mengaku bangga karena mendapatkan viwers lebih dari 34 juta di TikTok. 

Dalam kontennya, dengan gaya bercandaan, Ippolito mengungkap kebohongan kepada suaminya, ia mengaku melakukan perawatan wajah, padahal sebenarnya ia melakukan suntik botox. 

Sementara itu, sang suami mengakui bahwa sering kali saat hendak tidur di malam hari, ia masuk kamar dan berpura-pura sibuk melipat cucian agar tidak membantu Ippolito bersih-bersih. 

Keduanya nampak begitu harmonis, saling mengakui dan mendengarkan tentang kesalahannya masing-masing tanpa memberikan ancaman, hukuman, kritikan maupun penilaian lainnya. 

Konten serupa bernuansa humor juga dibuat Maria Doss dengan pacarnya yang mencapai lebih dari 26 juta pemirsa di Tiktok. 

Selain itu, akun @ayesebastien bersama pengguna lainnya, termasuk di Indonesia juga tergabung dalam tren ini hingga kontennya viral.

Tak hanya berlaku untuk sepasang kekasih, tren ini juga seringkali dipakai dalam konteks pertemanan di sekolah, pertemanan di dunia kerja, maupun dalam ruang lingkup keluarga, sebagai bentuk hiburan satu sama lain. 

Selain hiburan, pada umumnya tren ini mengungkap kesalahan dan kebodohan yang bersifat related juga masih dalam batas wajar, meskipun makna "wajar" setiap orang tentu akan berbeda-beda. 

Tren "We Listen, We Don't Judge" Membuka Ruang Kejujuran

Lebih jauhnya, konten ini mengisyarakatkan pentingnya kejujuran dan saling memaklumi dalam suatu hubungan, bahwa setiap manusia tidak luput dari kesalahan. 

Walaupun kenyataannya, apa yang dilihat di dunia maya kebanyakan "hanya konten" karena media sosial penuh dengan tipu daya.

Meskipun penekanannya "tidak menghakimi," dan terkesan spontan. Publik tentu tidak akan tahu apa yang terjadi sebelum dan sesudah konten tersebut dibuat.

Entah pesan dalam pengakuan itu di-setting atau mungkin entah ada kejadian lain seperti pertengkaran atau kerenggangan setelah shoot video itu selesai. 

Kekeliruan Penggunaan Tren "We Listen, We Don't Judge"

Lebih lanjut, tren "We Listen, We Dont Judge" juga sempat memicu perdebatan karena penggunaanya yang kerap kali dianggap kurang sesuai.

Bahkan, beberapa konten di media sosial diklaim lebih mengarah pada pendapat populer atau pun pendapat tidak populer sehingga memicu perdebatan.

Seperti halnya, konten "We Listen, We Don't Judge" yang dibagikan di tubirfess, yaitu salah satu base di platfrom X, 

"We listen, we don't judge edisi KPOP" tulis salah seorang pengguna x di base. 

Konten tersebut kemudian di-replay dengan komentar 

"terkadang menjadi K-POP itu melelahkan,"

Tampaknya tulisan tersebut, dikomentari oleh  pengguna x lainnya sebagai bentuk pengakuan berupa unpopular/popular opinion yang tidak sesuai dengan tren "We Listen, We Don't Judge"

Meskipun tidak ada aturan khusus, tak sedikit konten seperti demikian justru malah dikomentari warganet dan memicu perdebatan karena berada di luar konteks pengakuan dosa dan kebodohan. 

Tren "We Listen, We Don't Judge" Membanggakan Dosa dan Kebodohan

Kemudian, tren penggunaan "We Listen, We Don't Judge" Ini semakin berkembang dan dipakai oleh berbagai kalangan. 

Mirisnya, sejumlah oknum pengguna media sosial, memanfaatkan tren ini untuk mencari perhatian dengan menceritakan pengalaman atau dosa yang tak patut dibicarakan di ruang publik. 

Bicara patut-tidak patut, seringkali hal ini juga bersifat subjektif, tetapi pada dasarnya, kebebasan bersosial media juga memiliki standar dan aturan yang perlu dipatuhi. 

Salah satunya, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berisi tentang hak dan kewajiban pengguna internet. 

Seperti halnya konten sensitif yang menyakiti orang lain, menyinggung sara, bermuatan kriminalitas, pelecehan, seksualitas dan pengakuan lainnya yang berpotensi buruk. 

Lagi-lagi, fenomena tren medsos memang selalu bermata dua, sisi positif dan negatif  berdampingan dengan nyata, meskipun efek yang dirasakan terkadang tidak terjadi bersamaan. 

Dalam hal ini, beberapa warganet menyoroti dampak yang lebih besar dari tren pengakuan dosa ini.

Istilahnya, "Tuhan menutup aibmu tetapi kamu join We Listen, We Don't Judge" antara meringankan malaikat mencatat dosa-dosa dan menambah dosa baru. 

Disadari atau tidak, semakin kesini, tren ini digunakan oknum jahat tertentu sehingga semakin menormalisir kenakalan-kenakalan dan meromantisasi dosa.

Seakan-akan, tren ini memantik para pengguna media sosial bahwa semakin besar dosa yang di-spill, semakin besar pula engagement yang diraih.

Hal ini jelas berpotensi memperburuk mentalitas dan keberlangsungan hidup generasi muda, terutama anak-anak di bawah umur yang aktif bermain sosial media. 

Alih-alih mengajarkan tentang keterbukaan dan kejujuran, tren ini justru lebih berpotensi sebaliknya, yakni menginspirasi, mewajarkan perbuatan salah dan kebohongan agar dianggap normal. Bahkan, menjadi bahan tertawaan.  

Padahal, perbuatan kesalahan atau dosa tetaplah haram meskipun seisi dunia melakukannya, dan sekecil apapun kenakalan tetaplah kenakalan walaupun seisi dunia menormalkannya. 

Bijak dan Selektif terhadap Tren Media Sosial

Dalam hal ini, literasi sosial media sangat penting dilakukan, khususnya bagi orang dewasa dalam rangka meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi. 

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tren medsos selalu memiliki dampak postif dan negatif, termasuk tren "We Listen, We Don't Judge".

Sebaiknya, kreator jangan berpatokan bahwa tren ini menekankan untuk membagikan rahasia yang luar biasa, demi engagement yang tinggi.  

Walaupun penekanannya "hanya mendengar dan tidak menghakimi," ketika mempublikasikannya di dunia maya, hal ini jelas menimbulkan resiko yang signifikan. 

Di sisi lain, pengguna media sosial yang menjadi penonton juga patut memfilter konten untuk menghindari tontonan dan tren yang berpotensi buruk. 

Karena, media sosial memiliki algoritma yang menawarkan konten berdasarkan pengalaman, berupa hal-hal yang disukai dan sering betinteraksi dengan pengguna. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun