Mirisnya, sejumlah oknum pengguna media sosial, memanfaatkan tren ini untuk mencari perhatian dengan menceritakan pengalaman atau dosa yang tak patut dibicarakan di ruang publik.Â
Bicara patut-tidak patut, seringkali hal ini juga bersifat subjektif, tetapi pada dasarnya, kebebasan bersosial media juga memiliki standar dan aturan yang perlu dipatuhi.Â
Salah satunya, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berisi tentang hak dan kewajiban pengguna internet.Â
Seperti halnya konten sensitif yang menyakiti orang lain, menyinggung sara, bermuatan kriminalitas, pelecehan, seksualitas dan pengakuan lainnya yang berpotensi buruk.Â
Lagi-lagi, fenomena tren medsos memang selalu bermata dua, sisi positif dan negatif berdampingan dengan nyata, meskipun efek yang dirasakan terkadang tidak terjadi bersamaan.Â
Dalam hal ini, beberapa warganet menyoroti dampak yang lebih besar dari tren pengakuan dosa ini.
Istilahnya, "Tuhan menutup aibmu tetapi kamu join We Listen, We Don't Judge" antara meringankan malaikat mencatat dosa-dosa dan menambah dosa baru.Â
Disadari atau tidak, semakin kesini, tren ini digunakan oknum jahat tertentu sehingga semakin menormalisir kenakalan-kenakalan dan meromantisasi dosa.
Seakan-akan, tren ini memantik para pengguna media sosial bahwa semakin besar dosa yang di-spill, semakin besar pula engagement yang diraih.
Hal ini jelas berpotensi memperburuk mentalitas dan keberlangsungan hidup generasi muda, terutama anak-anak di bawah umur yang aktif bermain sosial media.Â
Alih-alih mengajarkan tentang keterbukaan dan kejujuran, tren ini justru lebih berpotensi sebaliknya, yakni menginspirasi, mewajarkan perbuatan salah dan kebohongan agar dianggap normal. Bahkan, menjadi bahan tertawaan. Â