Dalam hal ini, Gen Z memandang kesehatan mental sebagai investasi yang tak kalah penting dari karier. Penelitian Deloitte menunjukkan bahwa Gen Z lebih peduli kesehetan mental daripada gaji yang besar.Â
Namun, dalam hal ini, Studi dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan mental karyawan memiliki tingkat retensi yang lebih baik.Â
Dengan demikian, Keberanian Gen Z atas kesehatan mental sedikitnya berdampak positif. Lewat advokasi mereka, Gen Z membentuk komunitas yang lebih manusiawi dan mengguncang dunia profesional.
3. Generasi Z, Problematik di Era Ketidakpastian
Di balik berbagai keunggulannya, Generasi Z sering kali dianggap problematik. Mereka dibesarkan dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian, dari krisis ekonomi hingga perubahan iklim, sehingga membentuk pandangan berbeda terhadap kehidupan.Â
Menurut laporan Deloitte, 64% Gen Z merasa cemas tentang masa depan, menciptakan skeptisisme yang mendalam terhadap institusi dan otoritas.Â
Namun ironisnya, di tengah ketidakpastian ekonomi, Gen Z justru terjebak dalam "doom spending," menghabiskan uang untuk membeli barang-barang hype dan memenuhi gaya hidup yang tidak terlalu penting.Â
Selain itu, karakter Gen Z yang dinilai ceplas-ceplos dan spontan dalam menghadapi masalah kadang memberikan solusi yang tampak absurd, seperti guru atau orang tua yang menyarankan murid yang menjadi korban keusilan sesama murid, untuk balas dendam dibandingkan solusi lain yang lebih propesional.Â
Dalam lingkungan kerja, respons generasi Z terhadap beban kerja yang berlebihan juga menciptakan gap antara mereka dan generasi sebelumnya, menciptakan pandangan bahwa mereka kurang sopan atau lain sebagainya.Â
Meskipun kerapuhan ini sering kali menjadi bahan roasting di dunia maya, penting untuk diingat bahwa setiap individu Gen Z memiliki pengalaman dan tantangan masing-masing, tentunya karakter problematik tersebut tidak bisa dipukul rata.Â
4. POV Gen Z Menjadi Cara Kreatif dalam Digital Marketing