Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

I am a student of Journalistic Communication Studies, I actively read and share writing on several online media sites, both in the form of light articles, short stories, poetry and short opinions related to actual interesting issues. The reason I joined Kompasiana was because I was interested in the various features available to spread kindness to the public

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

4 Alasan Kenapa Tren "POV Gen Z" Mengubah Lanskap Konten Kreatif

8 Oktober 2024   13:58 Diperbarui: 8 Oktober 2024   16:59 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal ini, Gen Z memandang kesehatan mental sebagai investasi yang tak kalah penting dari karier. Penelitian Deloitte menunjukkan bahwa Gen Z lebih peduli kesehetan mental daripada gaji yang besar. 

Namun, dalam hal ini, Studi dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan mental karyawan memiliki tingkat retensi yang lebih baik. 

Dengan demikian, Keberanian Gen Z atas kesehatan mental sedikitnya berdampak positif. Lewat advokasi mereka, Gen Z membentuk komunitas yang lebih manusiawi dan mengguncang dunia profesional.

3. Generasi Z, Problematik di Era Ketidakpastian

Di balik berbagai keunggulannya, Generasi Z sering kali dianggap problematik. Mereka dibesarkan dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian, dari krisis ekonomi hingga perubahan iklim, sehingga membentuk pandangan berbeda terhadap kehidupan. 

Menurut laporan Deloitte, 64% Gen Z merasa cemas tentang masa depan, menciptakan skeptisisme yang mendalam terhadap institusi dan otoritas. 

Namun ironisnya, di tengah ketidakpastian ekonomi, Gen Z justru terjebak dalam "doom spending," menghabiskan uang untuk membeli barang-barang hype dan memenuhi gaya hidup yang tidak terlalu penting. 

Selain itu, karakter Gen Z yang dinilai ceplas-ceplos dan spontan dalam menghadapi masalah kadang memberikan solusi yang tampak absurd, seperti guru atau orang tua yang menyarankan murid yang menjadi korban keusilan sesama murid, untuk balas dendam dibandingkan solusi lain yang lebih propesional. 

Dalam lingkungan kerja, respons generasi Z terhadap beban kerja yang berlebihan juga menciptakan gap antara mereka dan generasi sebelumnya, menciptakan pandangan bahwa mereka kurang sopan atau lain sebagainya. 

Meskipun kerapuhan ini sering kali menjadi bahan roasting di dunia maya, penting untuk diingat bahwa setiap individu Gen Z memiliki pengalaman dan tantangan masing-masing, tentunya karakter problematik tersebut tidak bisa dipukul rata. 

4. POV Gen Z Menjadi Cara Kreatif dalam Digital Marketing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun