"Silahkan tanya Mariam. Mariam tidak perlu berbicara. Karena Abah tahu ia akan berteriak. Perintahkan ia untuk menulis saja di note book ini. Kamu nak, bertanya dari belakang Mariam saja. Karena jika Mariam tahu kita berdua melakukan ini, ia pasti akan sangat kecewa. Apalagi kamu sudah kenal dengan Mariam."
W. masih heran terdiam memandang Mariam. Dalam hatinya, kemelut antara dendam karma dan rasa ingin tahu kini kian kusut dalam kelindan. Tapi ia harus bertanya, siapa Mariam? Kenapa ia tahu nama lama W.?
Bagaimana jika Mariam adalah kakak kandungnya? Atau saudaranya? Terbersit rasa kasihan memandangi Mariam yang lemah terkulai didudukan di depannya. Tangan kanannya sudah putus teramputasi. Masih terlihat noda darah kecil mengerubungi tangan yang teramputasi. Sedang perut Mariam masih tebal terbungkus perban. Beberapa bercak darah masih terlihat dari lengan kiri. Sepertinya bekas jarum infus yang sengaja tercerabut saat Abah membawanya kesini.Â
Wajah Mariam benar-benar pucat seperti mayat. Tidak seperti Mariam yang ia kenal dulu. Sekitar kedua matanya sudah tirus berwarna keungungan. Tanda lelah yang sangat pun tergambar di wajahnya. Sepertinya menahan sakit saat meregang nyawa seperti mengeringkan kehidupan dalam diri Mariam.
"Sudah nak, kamu duduk di belakang Mariam. Sebentar lagi ia terbangun."Abah segera meminta W. mundur membelakangi Mariam.
"Baik Abah." W. segera mengambil kursi dan duduk di belakang Mariam. Namun dalam kepala W. masih kosong dengan apa yang ingin ia tanyakan. Ada sisi perempuan dalam dirinya yang begitu kasihan melihat Mariam seperti ini. Muncul juga rasa sedih dalam hati W. Dan secara inklandestin, ada rasa menyesal menyusup ke dalam nuraninya.
'Apa yang telah ku lakukan padanya? Inikah karma itu? Begitu kejamkah diri ini?' W. masih coba menyatukan fikiran dan tubuhnya untuk saat ini.
* * *
"Sudah saatnya tuan Jenar ini pun saya bungkam." Dari bangku belakang mobil Inspektur Jenar, tiba-tiba Abah mengalungkan pisau berburunya ke leher Inspektur Jenar. Tangan kiri Abah melingkari kuat leher Inspektur Jenar. Sedang tangan kanannya menempelkan pisau berburu.
"Apa yang kau inginkan Sadam? Membunuhku? Semua anggota kepolisian sudah mencarimu dan W. Kamu tidak akan lolos Sadam? Hahaha.." Inspektur Jenar tertawa sinis dan mencoba tidak bergerak.
"Slaaatt...." Abah menyayatkan pisaunya ke kulit Inspektur Jenar. Darah keluar dari luka sayatan kecil tadi. Abah pun kini makin dalam menekan pisau berburunya. Pisau yang sudah merenggut ratusan nyawa saat ia pergi menjaga perdamaian dulu. Pisau yang ia gunakan juga menjagal leher-leher para pemberontak.