Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karya Karma Bagian 15

19 November 2016   18:03 Diperbarui: 19 November 2016   18:26 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bleaq - foto: Maciej Goraczko

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

"Ya ya pak Jenar. Selamat bertugas. Staf saya nanti hubungi soal transfer. Dan mungkin lain waktu kita bisa keluar dan have fun. Boleh pak Jenar?" sambil menjabat tangan inspektur Jenar. Tawa ringan Fahri mengukuhkan keculasan keduanya.

"Baiklah pak Fahri." ia pun segera beranjak dari kantor. Bak angin yang datang dan pegi tanpa kesan. Hanya rasa yang inspektur Jenar. Rasa picik kongkalikongnya dengan Fahri tercium membaui ruangan Fahri yang begitu mewah.

* * *

"Bruuggghh..." Mariam dijatuhkan terduduk di bangku di samping tempat tidur W.

W. pun terbangun. Dengan wajah dan fikiran yang belum sepenuhnya terbangun W. menatap Abah mengikat Mariam. Abah pun menyumpal mulut Mariam dengan kain perca. Sementara Mariam masih pingsan saat didudukan.

"Ada apa Abah? Kenapa Mariam dibawa kesini??" W. terbangun di sudut tempat tidurnya. Ia terheran dan merasa aneh.

"Nak, kamu ingin menanyakan asal-usul kamu bukan? Abah sudah bawakan Mariam ke kamar ini. Kamu tidak usah susah-susah lagi pergi ke rumah sakit. Mungkin juga kamu akan ditangkap polisi yang saat ini sedang mencarimu ke pelosok kota."

"Tapi... tapi bagaimana jika polisi datang kesini Abah?" 

"Tak perlu merisaukan itu nak. Kamu cukup syukuri apa yang coba Abah berikan. Abah tidak mau putri kesayangan Abah harus ditangkap polisi." Kencang Abah mengikat ke dua kaki Mariam ke kursi. Tangan kanannya yang teramputasi diikat hanya sesampai siku. Tangan kirinya dibiarkan tidak terikat. Tangan ini akan dibuat untuk menulis. Lalu Abah mengambil pensil dan buku note kecil dari penginapan. Sebuah kenang-kenangan yang tidak patut dikenang pengunjung penginapan murah ini.

 "Silahkan tanya Mariam. Mariam tidak perlu berbicara. Karena Abah tahu ia akan berteriak. Perintahkan ia untuk menulis saja di note book ini. Kamu nak, bertanya dari belakang Mariam saja. Karena jika Mariam tahu kita berdua melakukan ini, ia pasti akan sangat kecewa. Apalagi kamu sudah kenal dengan Mariam."

W. masih heran terdiam memandang Mariam. Dalam hatinya, kemelut antara dendam karma dan rasa ingin tahu kini kian kusut dalam kelindan. Tapi ia harus bertanya, siapa Mariam? Kenapa ia tahu nama lama W.?

Bagaimana jika Mariam adalah kakak kandungnya? Atau saudaranya? Terbersit rasa kasihan memandangi Mariam yang lemah terkulai didudukan di depannya. Tangan kanannya sudah putus teramputasi. Masih terlihat noda darah kecil mengerubungi tangan yang teramputasi. Sedang perut Mariam masih tebal terbungkus perban. Beberapa bercak darah masih terlihat dari lengan kiri. Sepertinya bekas jarum infus yang sengaja tercerabut saat Abah membawanya kesini. 

Wajah Mariam benar-benar pucat seperti mayat. Tidak seperti Mariam yang ia kenal dulu. Sekitar kedua matanya sudah tirus berwarna keungungan. Tanda lelah yang sangat pun tergambar di wajahnya. Sepertinya menahan sakit saat meregang nyawa seperti mengeringkan kehidupan dalam diri Mariam.

"Sudah nak, kamu duduk di belakang Mariam. Sebentar lagi ia terbangun."Abah segera meminta W. mundur membelakangi Mariam.

"Baik Abah." W. segera mengambil kursi dan duduk di belakang Mariam. Namun dalam kepala W. masih kosong dengan apa yang ingin ia tanyakan. Ada sisi perempuan dalam dirinya yang begitu kasihan melihat Mariam seperti ini. Muncul juga rasa sedih dalam hati W. Dan secara inklandestin, ada rasa menyesal menyusup ke dalam nuraninya.

'Apa yang telah ku lakukan padanya? Inikah karma itu? Begitu kejamkah diri ini?' W. masih coba menyatukan fikiran dan tubuhnya untuk saat ini.

* * *

"Sudah saatnya tuan Jenar ini pun saya bungkam." Dari bangku belakang mobil Inspektur Jenar, tiba-tiba Abah mengalungkan pisau berburunya ke leher Inspektur Jenar. Tangan kiri Abah melingkari kuat leher Inspektur Jenar. Sedang tangan kanannya menempelkan pisau berburu.

"Apa yang kau inginkan Sadam? Membunuhku? Semua anggota kepolisian sudah mencarimu dan W. Kamu tidak akan lolos Sadam? Hahaha.." Inspektur Jenar tertawa sinis dan mencoba tidak bergerak.

"Slaaatt...." Abah menyayatkan pisaunya ke kulit Inspektur Jenar. Darah keluar dari luka sayatan kecil tadi. Abah pun kini makin dalam menekan pisau berburunya. Pisau yang sudah merenggut ratusan nyawa saat ia pergi menjaga perdamaian dulu. Pisau yang ia gunakan juga menjagal leher-leher para pemberontak.

"Tuan Jenar.. Tuan Jenar... Saya tidak pernah main-main dengan karma yang saya mainkan. Karma yang harusnya juga kamu terima. Andai saja tidak ada kebodohan dari tuan Niko anggotamu, kamu adalah targetku berikutnya."

"Sudahlah Sadam. Kamu serahkan dirimu ke polisi sekarang. Jika kamu tidak ingin berakhir dengan kematianmu dan putrimu W."

"Jangan coba mengancamku tuan Jenar." 

Abah sigap menyayat cukup dalam ke leher Inspektur Jenar. Tapi tidak mengenai nadi besar. Namun darah sudah mulai mengalir deras membasahi jaket kulit hitam Inspektur Jebar. Ada ketakutan yang sangat dalam raut Inspektur Jenar.

"Baui dan rasakan darahmu sendiri tuan Jenar. Saya belum memotong urat nadi lehermu. Nadimu masih cukup dalam untuk bisa ku sembelih tuan Jenar. Tapi rasa sakitnya sudah benar terasa bukan? Wajahmu sudah setakut para pemberontak yang dulu ke sembelih lehernya bak kambing. Mata mereka melotot keluar. Dan apa tuan tahu, setelah kepala mereka terpenggal, ada bunyi menggerok. Jantung mereka tetap memompa udara keluar. Tapi sudah terputus tenggoroknya. Jadi darah turut memuncrat keluar tuan Jenar. Indah bukan?" Abah menjelaskan dengan senyum yang menyeringai. Menatap tajam semua gerakan yang mungkin dibuat Inspektur Jenar.

"Baiklah...baiklah Sadam. Saya akan atur semua agar kamu dan anakmu bisa bebas. Tidak ada tuduhan pembunuhan ini ditujukan kepadamu. Bagaimana Sadam?"

"Hahaha... sifat busuk dan picik akan keluar saat manusia terdesak benar adanya tuan Sadam. Bertahan hidup dengan segala cara akan dilakukan. Dan bagi manusia busuk dan picik sepertimu, semua akan kamu lakukan bukan?" Ada amarah dai dalam mata Abah. Ia gerakkan pisaunya menyayat ke dalam leher Inspektur Jenar. 

"Apa... Apa... tunggu Sadam. Tunggu dulu...!!" Inspektur mulai menggerakkan tangan mencoba meraih tangan Abah.

"Jangan pernah gerakkan tangamu tuan Jenar. Atau pisau ini akan terus masuk ke dalam tenggorokmu. Mengerti!?" Abah menghentikan gerakan menyayat leher Inspektur Jenar.

"Baiklah... baiklah Sadam. Tolong... tolong jangan kau bunuh aku. Ku turuti semua keinginanmu." Inspektur Jenar kembali menurunkan kedua tangannya. Sedang bau anyir darah mulai memenuhi mobil Inspektur Jenar.

"Tidak ada yang kuinginkan tuan Jenar. Selain kematianmu...." 

Abah segera menyayat dalam leher Inspektur Jenar. Darah Inspektur Jenar segera mengucur deras. Gerakan menyembelih pun dilakukan Abah serupa dulu ia menggorok leher para pemberontak. Tangan Inspektur Jenar mencoba meraih tangan Abah yang melingkari lehernya. Namun semakin Inspektur Jenar berusaha, semakin dalam Abah menggorok leher Inspektur Jenar.

Kepanikan dan ketakutan membuat darah mengalir cepat dari tubuh ke kepala. Dan Abah tahu ini akan membuat kematian akan semakin cepat. Darah semakin membuncah keluar. Dari setiap nadi dan otot yang terpotong, ketakutan yang sangat tergambar di mata Inspektur Jenar. Ia pun coba berteriak tapi percuma. Mobilnya kedap suara dan semua jendela memang tertutup rapat. Dan menjelang tengah malam ini, di parkir kantor kepolisian memang sangat sepi.

"Rasakan tuan Jenar. Saat kematian itu hanya berjarak 3 senti antara pisauku dan nadimu tuan."

Abah semakin dalam menggorok leher Inspektur Jenar yang kini mulai lemah tak berdaya. Ada kepasrahan dan ketakutan dalam matanya yang kini sayu digelayuti kematian. Kuyup jaket dan baju Inspektur Jenar dibasahi darahnya sendiri. 

"Groookk...groook" suara menggerok terdengar saat  Abah hampir putus menggorok leher Inspektur Jenar. Abah pun tahu Inspektur Jenar akan segera mati, ia melemaskan tanga kiri yang semenjak tadi mengekang lehernya. Kini tangan kirinya menjambak rambut Inspektur Jenar. Karena Abah pun tahu, sebentar lagi ia menggorok, kepala Inspektur Jenar akan segera putus.

Benar saja, kepala Inspektur Jenar pun putus. Terpisah dengan lehernya, kepala inspektur Jenar segera dipegang Abah. Sedang tubuh Inspektur Jenar segera jatuh ke arah kiri. Dengan darah yang masih mengalir, kini darah Inspektur Jenar membasahi kursi penumpang di sebelah kiri. Abah segera melemparkan kepala Inspektur Jenar ke bangku penumpang di belakang. 

"Darahmu benar-benar berbau busuk tuan Jenar. Tidak seperti darah para pemberontak dulu." Seusai berkata demikian, Abah menatahkan noda darah ke bangku supir. Dan ia segera keluar meninggalkan Inspektur Jenar menggelinjang mati terpenggal kepalanya.

* * *

Bersambung

Wollongong 19 November 2016

10:02 pm 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun