Disclaimer:
Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)
“Rencana A begitu. Tapi kalau terjadi suasana gawat. Segera bungkam dan habisi target.” Irham berkata tegas.
Danu yang dari tadi terdiam memperhatikan mengetahui ada rasa takut pada teman-temannya. Karena Danu sudah pelajari berkas target, W. alias Wardah. Ia bukan polisi sembarangan. Dan Danu tahu apa yang akan mereka hadapi suasana hidup dan mati. Sepertinya hal ini Danu bias rasakan di nada bicara Irham yang ragu. Namun ia tutupi dengan nada yang cukup tegas. (Bagian 13)
* * *
"Abah, saya mau bertanya?" W. menghampiri Abah yang terduduk di samping tempat tidur. Di remang cahaya sore dari jendela penginapan ini, tua wajah Abah semakin terlihat sayu dan kuyu.
"Ada apa nak?" Abah menoleh ringan. Masih nampak di kerut wajahnya, rasa menunggu. Entah itu apa.
"Abah tahu siapa Mariam?" W. bertanya lirih menandakan keraguan. Namun hati memaksanya untuk bertanya.
"Mariam si pejabat yang Abah amputasi tangannya?"
"Iya benar dia Abah."
"Dengan kata lain, kamu belum selesaikan tugasmu? Kalau Mariam sudah kamu habisi, kamu tidak akan banyak bertanya bukan?" Abah merubah posisi duduknya. Kini ia menghadap W. yang sedang berdiri. Sebuah roman serius tersirat di mata Abah.
"Iya Abah, Maaf. Tapi Mariam menyebut nama lengkap Wardah saat ia mengigau. Kenapa ia bisa tahu? Saya tahu ia datang dari satu daerah yang sama dengan Wardah dulu. Tapi... Tapi apa hubungannya ia tahu nama lengkap Wardah? Tidak pernah sekalipun orang tahu nama lengkap waktu kecil. Karena hanya Wardah Safitri yang orang semua tahu sekarang Abah?" W. kalut dalam pertanyaannya.
"Tenangkan dirimu nak. Mari duduk di samping Abah." Abah tersenyum simpul. Ia tahu putri angkatnya satu ini fikirannya berkecamuk tanya. Persis seperti pribadinya yang selalu penuh tanya.
"Abah harus bisa jelaskan. Siapa Mariam? Kakakku? Atau entah dia saudarku?" W. sudah terduduk. Di matanya terjelaga banyak tanya.
"Dulu, Abah menjemputmu di Panti Sosial Berkah Bunda di kota ini. Abah masih teringat jelas betapa gembiranya saat bertemu kamu nak. Kamu yang selalu ceria dan penuh tanya sudah lama tinggal disana bukan? Sudah 1 tahun kamu tinggal disana. Kepala panti itu bercerita, para petugas menemukanmu lusuh menggigil di derai hujan. Tepat di depan rumah sakit kota. Mereka membawamu ke panti. Merawatmu dengan baik. Dan kita pun bertemu." Abah menghela nafas. Menghentikan penjelasannya beberapa detik. Ada keheningan yang menambah dalam makna mengingat masa lalu.
"Abah hanya diserahi kepala panti beberapa lembar keterangan. Berkas-berkas ini hasil penelusuran pihak panti dan biro sosial. Mereka hanya tahu kamu berasal dari daerah Nusa Kila. Memang persis seperti asal Mariam. Ayahmu bernama Ginanjar. Ibumu.... ibumu..." Abah coba mengingat nama ibu kandung W. di secarik kertas pemberian kepala panti.
"Ya,... ibumu bernama Suciana. Mereka memiliki dua orang putri. Namun di berkas tidak diberi tahu siapa nama kakakmu nak."
"Kenapa Mariam tahu namaku dulu Indah Suryani Abah? Tidak adakah petunjuk lain. Kemana ayah dan ibu kandungku Abah?"
"Dalam berkas yang Abah terakhir tahu, ayahmu pergi kerja ke luar negri utnuk bekerja. Sedang ibumu meninggal. Tepat saat ibumu meninggal, kamu dititipkan ke seorang tetangga. Dan sejak kecil kamu tinggal dengannya. Panggilannya ibu Hendro. Saat itu, kamu masih sangat kecil. Mungkin 1 tahun usiamu saat itu. Namun ibu Hendro tidak sanggup merawatmu. Ia pun menitipkanmu ke saudaranya, pak Makmun di kota ini. Dan kamu pasti masih ingat pak Makmun bukan?"
"Ya. Ialah yang mendidik Wardah mengemis dan mengamen di jalan-jalan kota ini Abah. Wardah pun bertemu dengannya hanya sebulan sekali. Itupun untuk menyetor uang hasil mengemis dan mengamen. Katanya untuk biaya sekolah dan makan. Dan bertahun-tahun di jalan, tidak pernah ada namanya sekolah. Makanpun hanya sehari sekali. Itupun hasil menguntit uang setoran. Tidak ada lagi keterangan lain yang Abah tahu?" W. masih memberondong Abah dengan pertanyaan soal Mariam.
"Tidak ada nak. Abah pun hanya bisa mengingat itu saja. Jika Mariam memang kakakmu, kamu harus tanyakan ke Mariam." Abah menggeser pandangnya kembali mengarah jendela kamar.
'Bertanya kepada Mariam? Itu bunuh diri. Polisi akan tahu. Tapi... tapi... siapa Mariam? Kakakku? Saudaraku?! Ah sial!' W. memandang kosong ke arah Abah. Namun hatinya berdetak dengan keraguan. Ia harus bertanya kepada Mariam.
* * *
"Pak Fahri, kita butuh alat-alat medis baru di rumah sakit!" dokter Irwan menyentak.
"Silahkan diajukan ke kepala rumah sakit saja dokter Irwan. Siapa namanya? Dokter Sentot... ya ya dia." Fahri menjawab santai.
"Sudah pak Fahri. Sudah coba pula kami paksa dokter Sentot mengajukan apa yang kita minta. Namun ia bilang sudah mengajukan. Dan ingat, sudah 2 tahun kami tidak mendapat hasil apa-apa. Sudah banyak korban meninggal jika alat-alat medis masih kuno seperti sekarang pak. Apalagi listrik kota ini sering mati."
"Kalau begitu kamu protes ke biro listrik kota ini saja. Jangan sering padamkan listrik." Fahri menjawab. Ada nada menyepelekan disana.
"Ah, bapak sudah gila! Bapak tega melihat tingkat kematian di rumah sakit kita tinggi? Dimana hati bapak??" dokter Irwan mulai tersulut emosinya.
Pintu kantor Fahri terbuka. Muncul seorang berpakaian jas hitam rapi. Ada roman kegagahan dalam perawakan pria yang baru masuk. Wibawa pun terlihat di sorot matanya.
"Maaf dokter Irwan. Silahkan nanti diteruskan proposal atau ajuannya ke staf saya saja. Saya ada tamu penting." Fahri menatap orang yang baru masuk dan mengangguk untuk menyilakannya duduk di sofa di sudut kantornya.
"Ingat pak Fahri, hukum karma itu ada. Anda telah menyia-nyiakan nyawa banyak orang." seusai berucap demikian, dokter Irwan beranjak pergi. Kekecewaan dalam raut wajahnya ditebarkan ke penjuru ruang. Tatapan sinis pun ditembakkanya ke arah orang yang baru tiba.
"Apa kabar inspektur?" Fahri menghampiri orang yang baru tiba. Dan kini Fahri menjabat tangannya erat sambil tersenyum.
"Ah, tidak usang panggil saya inspektur. Cukup Jenar saja." orang tadi mencoba membuat suasana lebih informal. Suasana yang lebih dekat guna membahas tujuannya datang ke kantor Fahri.
"Ya ya. Saya sudah mendapat pesan dari pak Hendra. Pak Jenar akan datang. Jadi untuk semuanya nanti bisa saya atur."
"Transfernya mohon agar disebar ke beberapa rekening ini pak Fahri." Inspektur Jenar mengeluarkan secarik amplop. Segera ia serahkan ke Fahri.
"Ya ya pak Jenar" Fahri membuka amplop dan membacanya cepat.
"Jadi deal, dana yang diterima dua digit pak Fahri?"
"Ya ya pak Jenar. Saya faham benar. Pak Hendra sudah saya percaya selama ini. Saya hanya minta, anggota tidak usah banyak urusi rumah sakit kota. Urusi saja kasus-kasus kecil di pak. Faham ya pak Jenar?" Fahri tersenyum. Ada jerat kepicikan di tatapannya. Inspektur Jenar pun memahami itu.
"Saya memang baru ditugaskan di kota ini pak Fahri. Tapi tenang, pengalaman saya sudah cukup kalau cuma mengalihkan ini semua. Saya cukup tahu transfer lancar. Pak Hendra di atas sana juga aman. Pak Fahri aman. Saya aman. Bukan begitu pak?" sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke Fahri untuk berjabat tangan.
"Ya ya pak Jenar. Selamat bertugas. Staf saya nanti hubungi soal transfer. Dan mungkin lain waktu kita bisa keluar dan have fun. Boleh pak Jenar?" sambil menjabat tangan inspektur Jenar. Tawa ringan Fahri mengukuhkan keculasan keduanya.
"Baiklah pak Fahri." ia pun segera beranjak dari kantor. Bak angin yang datang dan pegi tanpa kesan. Hanya rasa yang inspektur Jenar. Rasa picik kongkalikongnya dengan Fahri tercium membaui ruangan Fahri yang begitu mewah.
* * *
Bersambung
Wollongong, 28 Oktober 2016
10:31 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H