* * *
"Pak Fahri, kita butuh alat-alat medis baru di rumah sakit!" dokter Irwan menyentak.
"Silahkan diajukan ke kepala rumah sakit saja dokter Irwan. Siapa namanya? Dokter Sentot... ya ya dia." Fahri menjawab santai.
"Sudah pak Fahri. Sudah coba pula kami paksa dokter Sentot mengajukan apa yang kita minta. Namun ia bilang sudah mengajukan. Dan ingat, sudah 2 tahun kami tidak mendapat hasil apa-apa. Sudah banyak korban meninggal jika alat-alat medis masih kuno seperti sekarang pak. Apalagi listrik kota ini sering mati."
"Kalau begitu kamu protes ke biro listrik kota ini saja. Jangan sering padamkan listrik." Fahri menjawab. Ada nada menyepelekan disana.
"Ah, bapak sudah gila! Bapak tega melihat tingkat kematian di rumah sakit kita tinggi? Dimana hati bapak??" dokter Irwan mulai tersulut emosinya.
Pintu kantor Fahri terbuka. Muncul seorang berpakaian jas hitam rapi. Ada roman kegagahan dalam perawakan pria yang baru masuk. Wibawa pun terlihat di sorot matanya.
"Maaf dokter Irwan. Silahkan nanti diteruskan proposal atau ajuannya ke staf saya saja. Saya ada tamu penting." Fahri menatap orang yang baru masuk dan mengangguk untuk menyilakannya duduk di sofa di sudut kantornya.
"Ingat pak Fahri, hukum karma itu ada. Anda telah menyia-nyiakan nyawa banyak orang." seusai berucap demikian, dokter Irwan beranjak pergi. Kekecewaan dalam raut wajahnya ditebarkan ke penjuru ruang. Tatapan sinis pun ditembakkanya ke arah orang yang baru tiba.
"Apa kabar inspektur?" Fahri menghampiri orang yang baru tiba. Dan kini Fahri menjabat tangannya erat sambil tersenyum.
"Ah, tidak usang panggil saya inspektur. Cukup Jenar saja." orang tadi mencoba membuat suasana lebih informal. Suasana yang lebih dekat guna membahas tujuannya datang ke kantor Fahri.