"Iya Abah, Maaf. Tapi Mariam menyebut nama lengkap Wardah saat ia mengigau. Kenapa ia bisa tahu? Saya tahu ia datang dari satu daerah yang sama dengan Wardah dulu. Tapi... Tapi apa hubungannya ia tahu nama lengkap Wardah? Tidak pernah sekalipun orang tahu nama lengkap waktu kecil. Karena hanya Wardah Safitri yang orang semua tahu sekarang Abah?" W. kalut dalam pertanyaannya.
"Tenangkan dirimu nak. Mari duduk di samping Abah." Abah tersenyum simpul. Ia tahu putri angkatnya satu ini fikirannya berkecamuk tanya. Persis seperti pribadinya yang selalu penuh tanya.
"Abah harus bisa jelaskan. Siapa Mariam? Kakakku? Atau entah dia saudarku?" W. sudah terduduk. Di matanya terjelaga banyak tanya.
"Dulu, Abah menjemputmu di Panti Sosial Berkah Bunda di kota ini. Abah masih teringat jelas betapa gembiranya saat bertemu kamu nak. Kamu yang selalu ceria dan penuh tanya sudah lama tinggal disana bukan? Sudah 1 tahun kamu tinggal disana. Kepala panti itu bercerita, para petugas menemukanmu lusuh menggigil di derai hujan. Tepat di depan rumah sakit kota. Mereka membawamu ke panti. Merawatmu dengan baik. Dan kita pun bertemu." Abah menghela nafas. Menghentikan penjelasannya beberapa detik. Ada keheningan yang menambah dalam makna mengingat masa lalu.
"Abah hanya diserahi kepala panti beberapa lembar keterangan. Berkas-berkas ini hasil penelusuran pihak panti dan biro sosial. Mereka hanya tahu kamu berasal dari daerah Nusa Kila. Memang persis seperti asal Mariam. Ayahmu bernama Ginanjar. Ibumu.... ibumu..." Abah coba mengingat nama ibu kandung W. di secarik kertas pemberian kepala panti.
"Ya,... ibumu bernama Suciana. Mereka memiliki dua orang putri. Namun di berkas tidak diberi tahu siapa nama kakakmu nak."
"Kenapa Mariam tahu namaku dulu Indah Suryani Abah? Tidak adakah petunjuk lain. Kemana ayah dan ibu kandungku Abah?"Â
"Dalam berkas yang Abah terakhir tahu, ayahmu pergi kerja ke luar negri utnuk bekerja. Sedang ibumu meninggal. Tepat saat ibumu meninggal, kamu dititipkan ke seorang tetangga. Dan sejak kecil kamu tinggal dengannya. Panggilannya ibu Hendro. Saat itu, kamu masih sangat kecil. Mungkin 1 tahun usiamu saat itu. Namun ibu Hendro tidak sanggup merawatmu. Ia pun menitipkanmu ke saudaranya, pak Makmun di kota ini. Dan kamu pasti masih ingat pak Makmun bukan?"
"Ya. Ialah yang mendidik Wardah mengemis dan mengamen di jalan-jalan kota ini Abah. Wardah pun bertemu dengannya hanya sebulan sekali. Itupun untuk menyetor uang hasil mengemis dan mengamen. Katanya untuk biaya sekolah dan makan. Dan bertahun-tahun di jalan, tidak pernah ada namanya sekolah. Makanpun hanya sehari sekali. Itupun hasil menguntit uang setoran. Tidak ada lagi keterangan lain yang Abah tahu?" W. masih memberondong Abah dengan pertanyaan soal Mariam.
"Tidak ada nak. Abah pun hanya bisa mengingat itu saja. Jika Mariam memang kakakmu, kamu harus tanyakan ke Mariam." Abah menggeser pandangnya kembali mengarah jendela kamar.
'Bertanya kepada Mariam? Itu bunuh diri. Polisi akan tahu. Tapi... tapi... siapa Mariam? Kakakku? Saudaraku?! Ah sial!' W. memandang kosong ke arah Abah. Namun hatinya berdetak dengan keraguan. Ia harus bertanya kepada Mariam.Â