Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Karya Karma Bagian 2

26 September 2016   18:47 Diperbarui: 26 September 2016   18:58 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

“Nona Mariam tunggu disini sampai hari Penghakiman itu tiba. Nona tidak usah takut akan rasa takut. Ikuti saja rasa takut itu hendak kemana. Karena penghakiman itu benar-benar nyata Nona. Percayalah!” Abah berbisik sebelum meninggalkan Mariam di dalam ruangan.

“Braak!!” pintu segera ditutup. (Bagian 1)

* * *

"Bapak Johan benar tidak tahu ibu Mariam setelah keluar kantor ke mana?" tanya W.

"Tidak tahu bu. Saya keluar ruangan bu Mariam lebih dulu. Setelah itu saya langsung menuju mobil saya di parkir lantai bawah."

"Apa yang ibu Mariam katakan sebelum bapak keluar dari ruangnya?"

"Mmm.. sudah malam, dia ingin segera pulang. Itu saja." Johan menjawab ragu.

"Sebelum bilang seperti itu tidak ada hal lain yang diomongkan?"

"Mmm.. bu Mariam hanya bilang beberapa hari ke belakang sering dikuntit orang." Pandangan Johan dilempar ke sekeliling ruang kantornya.

"Kenapa dia diikuti orang? Apa bu Mariam memberi dugaan khusus pak Johan? W. bertanya delik demi deliknya. Pengalaman selama 10 tahun membuatnya terlaltih dalam mengintrogasi.

"Cuma bilang urusan bisnis..." Johan berhenti tepat sebelum memberi banyak keterangan.

"Bisnis apa pak Johan? Bisa dispesifikan?" W. bertanya kritis. Ia tahu ada yang tersembunyi tepat di titik Johan berhenti.

"Ah, hanya bisnis kami ini bu. Pengadaan proyek... ya ya pengadaan proyek saja." Johan memberi keterangan.

"Siapa saja yang kira-kira terlibat bisnis ini pak Johan?"

"Apa perlu saya memberi nama mereka? Ini kan hanya soal ibu Mariam yang hilang tadi malam? Bukan begitu?" Johan menocba membatasi apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.

"Ini untuk kepentingan penyelidikan pak Johan. Siapa tahu orang-orang yang bapak sebut tahu keberadaan ibu Mariam." tegas W.

"Jika saya memberi nama teman bisnis saya, bisa-bisa saya kehilangan kerja bu. Mereka tentunya tidak ingin terlibat kasus ini bukan?" sergah Johan.

"Nama-nama mereka akan kita rahasiakan dari publik pak Johan. Dimohon kerjasamanya pak Johan atas kasus ini. Bapak juga tidak ingin kehilangan rekan kerja bukan?"

"Bukan begitu bu. Jika nama rekanan bisnis saya ibu tahu lalu ibu datangi, bukankah itu mencoreng kredibiltas saya. Saya yakin mereka tidak terlibat. Untuk apa mereka menculik ibu Mariam yang notabene memberi mereka untung?" Johan memberikan alasan, menutupi.

"Pak Johan, begini... kasus penculikan ini bukan cuma sekali terjadi. Beberapa minggu lalu pejabat kementrian juga hilang sesuai jam kantor. Pak Johan tentu melihat beritanya di tivi. Jadi jika ada kemungkinan kaitan kasus ini dengan yang lain, pelakunya bisa kami lacak. Siapapun dia, sepertinya tahu benar kebiasaan ibu Mariam. Dan mungkin alasan orang ini menculik ibu Mariam. Jadi bisakah bapak Johan bekerjasama dengan kami."

"Saya tetap tidak ingin memberikan nama-nama rekanan kerja kami bu. Anggap saja ini rahasia perusahaan. Jelas bu." Johan menatap tajam W.

"Pak Johan..." belum usai W. berbicara, ada tarikan tangan menjauhkannya dari Johan.

"Sudah W., biar urusan nama nanti diselesaikan yang lebih berwenang. PPATK atau BPK bisa kita tanyakan nanti." Inspektur Jenar menyela W. dalam pertanyaan berikutnya. 

"Tapi saya minta dokumen transaksi terakhir ibu Mariam dan rekan kerjanya pak Jenar. Bisa?" W. bertanya tegas ke atasannya.

"Baik nanti saya berikan."

"Terima kasih pak Johan atas waktunya" W. langsung berbalik ke arah Johan dan keluar dari kantor.

W. tahu ada yang disembunyikan dari ini semua. Begitupun dengan saksi kasus penculikan pejabat beberapa waktu lalu. Orang-orang ini begitu tertutup menyoal bisnisnya. Namun W. tahu ini semua pasti terkait kongkalikong. Ia bisa menciumnya. Dan nama-nama yang akan nanti ia dapat, akan lebih bermanfaat untuknya. Percayalah.

* * * 

Dalam takut, sakit dan gelap, Mariam terisak. Tangisnya bukan lagi rasa takut. Namun rasa putus asa. Lebih berasa putus nyawa daripada menderita seperti ini.

"Sraakkkk!" tiba-tiba panel pintu bawah terbuka lebar. Piring berisi nasi dan ikan goreng meluncur masuk.

"Makanlah Nona Mariam. Nona harus tetap hidup untuk bisa merasa mati nanti." Abah berkata bak ceramah menggugah di balik pintu. Mariam jijik mendengarnya.

"Dasar kau bajingan! Siapa kamu!! Keluarkan aku sekarang! Dasar kau jahanam!" Mariam memaki dan mengutuk Abah.

"Sraakkk.." panel kecil tadi segera ditutup Abah.

"Heiiii...! Kembali kamu! Keluarkan aku!! Anjing!!" Mariam berlari ke arah pintu. Menggedor-gedor pintu dengan tangan kirinya yang payah. Menangis.

Darah di tangan amputasinya belum kering benar. Mariam menangis terisak jika melihat amputasi tangannya. Entah berapa lama ia sudah berada disini. Ia sempat tertidur karena lelah menahan sakit dan putus asa. Dan kini lapar. Perutnya seolah menganga meminta diisi nasi. 

Entah makanan ini untuk sarapan atau makan siang, makan dan makan saja segera memenuhi fikir Mariam. Lahap Mariam makan. Dengan tangan kirinya, ia suap nasi ke mulut. Mariam bak binatang yang begitu lapar. Makan bukan lagi soal mengunyah, tapi segera terisi perut.

"Bruuughhh.." tiba-tiba badan Mariam roboh seusai beberapa suap.

Pintu langsung terbuka. Abah segera masuk sambil tersenyum. Abah tahu obat tidur tidak terasa sama sekali saat orang sedang sangat lapar. Begitupun Mariam, si binatang yang begitu lapar. Begitu rakus.

"Sleeett...." Abah segera menyayatkan pisau bedah ke perut Mariam. Terhamburlah usus kecil Mariam. Tangan Abah segera merogoh hasil sayatan. Terdiam sejenak, Abah segera tersenyum.

"Ah ini dia. Perutmu Nona Mariam. Perut yang begitu kecil, namun tidak puas kamu isi dengan makanan. Makanan yang bukan hakmu Nona Mariam."

"Sleet.." segera Abah membuka bagian karoliaks lambung. Nasi segera membujur keluar. Nasi yang sudah serupa bubur. Ada pula nasi yang masih berbulir. Nasi yang sengaja ditelan tanpa mengunyah. Karena Mariam si binatang yang begitu rakus.

Abah segera mengosongkan nasi di dalam lambung Mariam. 

"Nah Nona Mariam, semoga kamu sudah merasa lapar lagi. Nanti saya sediakan lagi nasi ikan goreng." sambil tersenyum Abah merogoh jarum dan benang hecting di kantongnya. Sebisanya, ia tutup jahit lambung Mariam. Lalu usus yang ikut terburai ia masukkan kembali ke perut. Setidaknya. Sebisanya.

Jahitan di perut Mariam begitu sembarang, namun Abah begitu menghayatinya. Senyum Abah tersirat tiap kali jarum menutup sayatan yang ia buat. 

"Setidaknya Nona Mariam tidak menghabiskan banyak benang. Tidak seperti Fahri si pejabat gendut rekan Nona itu." Abah tersenyum dan membiarkan Mariam tergolek tak berdaya di ruang Kesempurnaan.

"Oya sebelum pergi, saya perlu sampaikan satu hal Nona Mariam. Sebentar lagi Johan rekan Nona akan 'mampir' mengunjungi Nona. Putri saya akan mengantarnya ke sini." Segera Abah menutup pintu ruangan Kesmpurnaan. Gelap kembali membekap Mariam. 

Dalam tidur biusnya, Mariam merasakan sakitnya. Ia rasa semua sakit. Namun ia mati dalam bius. Dalam kesenyapan sakit yang begitu riuh.

'Perutku...perutnku. Sakit sekali. Kenapa? Kenapa??!' Mariam berteriak dalam kesakitan yang sangat di gelap alam yang terbius.

* * *

Bersambung

banner-fiksi-horor-57e8a4f3b993735a125c2bf6-57e90a794423bd400c84a2d6.jpg
banner-fiksi-horor-57e8a4f3b993735a125c2bf6-57e90a794423bd400c84a2d6.jpg
Wollongong, 26 September 2016

09:46 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun