"Dasar kau bajingan! Siapa kamu!! Keluarkan aku sekarang! Dasar kau jahanam!" Mariam memaki dan mengutuk Abah.
"Sraakkk.." panel kecil tadi segera ditutup Abah.
"Heiiii...! Kembali kamu! Keluarkan aku!! Anjing!!" Mariam berlari ke arah pintu. Menggedor-gedor pintu dengan tangan kirinya yang payah. Menangis.
Darah di tangan amputasinya belum kering benar. Mariam menangis terisak jika melihat amputasi tangannya. Entah berapa lama ia sudah berada disini. Ia sempat tertidur karena lelah menahan sakit dan putus asa. Dan kini lapar. Perutnya seolah menganga meminta diisi nasi.Â
Entah makanan ini untuk sarapan atau makan siang, makan dan makan saja segera memenuhi fikir Mariam. Lahap Mariam makan. Dengan tangan kirinya, ia suap nasi ke mulut. Mariam bak binatang yang begitu lapar. Makan bukan lagi soal mengunyah, tapi segera terisi perut.
"Bruuughhh.." tiba-tiba badan Mariam roboh seusai beberapa suap.
Pintu langsung terbuka. Abah segera masuk sambil tersenyum. Abah tahu obat tidur tidak terasa sama sekali saat orang sedang sangat lapar. Begitupun Mariam, si binatang yang begitu lapar. Begitu rakus.
"Sleeett...." Abah segera menyayatkan pisau bedah ke perut Mariam. Terhamburlah usus kecil Mariam. Tangan Abah segera merogoh hasil sayatan. Terdiam sejenak, Abah segera tersenyum.
"Ah ini dia. Perutmu Nona Mariam. Perut yang begitu kecil, namun tidak puas kamu isi dengan makanan. Makanan yang bukan hakmu Nona Mariam."
"Sleet.." segera Abah membuka bagian karoliaks lambung. Nasi segera membujur keluar. Nasi yang sudah serupa bubur. Ada pula nasi yang masih berbulir. Nasi yang sengaja ditelan tanpa mengunyah. Karena Mariam si binatang yang begitu rakus.
Abah segera mengosongkan nasi di dalam lambung Mariam.Â