Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Si Sulung Menikah, Si Bungsu Gelisah

29 November 2021   21:13 Diperbarui: 30 November 2021   05:00 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga saya. Sumber: Dok. Pribadi

Kakak menikah membuat saya gelisah. 

Menikah di masa pandemi memang berat dan penuh perjuangan. Saya melihat sendiri bagaimana kakak stres karena terpaksa untuk menunda pernikahannya dengan segala persiapannya yang sudah matang.  

Awalnya, pernikahan ditetapkan pada tanggal 25 Juli. Namun, harus ditunda karena kita tahu pada bulan Juli lalu Covid-19 sedang "tidak tahu diri". Angka positif sedang tinggi ditambah ada anggota keluarga besar diketahui terpapar tepat H-5 pernikahan.

Demi pernikahan membawa kebahagiaan bukan korban, diputuskan untuk ditunda. 

Akhirnya, di tanggal 30 Oktober 2021, kakak saya resmi menerima sakramen pernikahan di depan Gereja, keluarga, saudara, dan tetangga. Dalam segala keterbatasan, pernikahan bisa berlangsung tanpa kekurangan apapun, semua bahagia.

Pernikahan menjadi lembaran hidup baru untuk kakak karena ia akan membangun sekaligus memimpin keluarga baru dan "meninggalkan" yang lama. Seperti yang tertulis pada injil Matius 19:5:

Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.

Sebelum menikah, kakak menjadi tumpuan ekonomi keluarga bersama ibu sebab bapak sudah lama memutuskan untuk tidak bekerja. 

Ketika kakak "meninggalkan" keluarga asalnya dan fokus dengan keluarga baru, siapa yang selanjutnya punya tanggung jawab besar merawat bapak dan ibu? 

Ya, jawabannya adalah si bungsu alias saya sendiri.

Keadaan inilah yang membuat saya bertanya-tanya sambil gelisah akan beberapa hal:

Kapan saya akan menikah?

Sejujurnya saya sama sekali belum kepikiran untuk menikah meskipun sudah berumur 23 tahun. Namun, setelah pernikahan kakak kemarin mulai banyak yang "kepo" akan masa lajang saya.

Pertanyaan-pertanyaan mulai dari

"Yuda mana pasangannya?"

"Yuda kapan nyusul?"

tidak bisa terelakkan lagi dari mulut.

Ketika pertanyaan tersebut keluar, jawaban saya cuman satu dan seperti template yang dipakai berulang-ulang, yaitu

"Nanti, tunggu kaya dulu"

Jawaban itu hanyalah template supaya tidak berlanjut ke pertanyaan yang lebih dalam, padahal saya tidak tahu kapan saya akan menikah atau apakah saya akan menikah.

Pertimbangan terberat saya untuk memutuskan untuk menikah atau tidak adalah bapak dan ibu. Sulit rasanya untuk meninggalkan mereka berdua di dalam satu rumah. 

Rasa sulitnya tidak muluk-muluk, bahkan hanya se-simpel: 

"Ketika mereka lagi gaptek (gagap teknologi) siapa yang akan sigap langsung mengajarkannya?"

Memang bisa diajarkan lewat telpon atau video call, tapi namanya orangtua pasti akan lebih paham jika diajarkan secara langsung. 

Apalagi akhir-akhir ini saya menjadi asisten ibu untuk mempersiapkan pembelajaran daring, asisten bapak untuk rapat online gereja, dan juga untuk misa online.

Ditambah saat fenomena panti jompo kemarin sedang viral, ibu berkata demikian:

"Nanti ibu sama bapak udah berukur gapapa ditaruh di panti jompo saja"

Mendengarnya saya langsung menangis dalam hati dan berjanji untuk tidak melakukan demikian. 

Saya sendiri ber-prinsip kalau bapak dan ibu saja tahan dengan tingkah laku saya dari bayi, maka saya pun harus berbuat demikian.

Masa tua mereka nanti memang pasti akan merepotkan, tetapi jujur saja saya lebih memilih tidak menikah dibandingkan menaruh ibu dan bapak di panti jompo.

Apakah saya mampu "menafkahi" keluarga?

Bicara nafkah, bicara juga kesejahteraan.

Seperti sebelumnya disampaikan, ketika kakak menikah, otomatis peran besar "menafkahi" bapak dan ibu ada di saya sebagai si bungsu dan sisanya ibu yang masih bekerja.

Namun, ada saatnya nanti ibu melepas peran karena terbatas usia. Diperkirakan 5-7 tahun lagi, ibu akan pensiun. Ketika pensiun, otomatis kebutuhan mereka dipenuhi oleh anak-anaknya.

Untungnya, usia kakak dan saya hanya berjarak tiga tahun sehingga kakak bisa fokus menafkahi keluarga barunya.

Kakak menikah membuat saya gelisah dan berpikir

"Apakah karir saya cukup untuk kesejahteraan keluarga?"

"Apakah karir saya cukup untuk setidaknya membayar kebutuhan di rumah?"

Cukup atau tidak memang relatif dan bisa diatur, tapi namanya seorang anak pasti ingin memberikan kebahagiaan maksimal, bukan? Setidaknya kesejahteraan mereka bisa "status quo" dan tidak berkurang sekalipun dari sebelumnya.

Seorang anak juga tentu sangat ingin orangtuanya punya masa tua yang indah dan tidak perlu repot-repot memikirkan untuk pemenuhan kebutuhan di hari ini, seminggu ke depan, dan masa depan. 

Terkesan seperti anak sebagai investasi, tapi apa yang saya inginkan hanya satu yaitu kebahagiaan. Orangtua sudah memberikan segalanya untuk saya dan kini giliran saya.

Meskipun tidak pernah diminta, tapi rasanya memberi kebahagiaan dan kesejahteraan adalah sebuah kewajiban.

Keluarga adalah bentuk simbiosis mutualisme, bukan?

Apakah hubungan bapak dan ibu akan "tetap sama"?

Usia pernikahan bapak dan ibu memang sudah lebih dari 20 tahun, tapi namanya hubungan suami-istri tidak pernah lepas dari namanya pertengkaran.

Mulai dari perbedaan pendapat sampai hal sepele "lupa naruh barang di mana" bisa jadi potensi pertengkaran. 

Sejauh ini yang saya amati memang ibu-bapak kalau bertengkar hanya sebentar saja dan tidak terlalu intens.

Kisaran 15-20 menit saling mendiamkan, setelah itu baikkan. Tidak sampai yang berhari-hari dan juga pisah ranjang.

Tapi apakah ketika nanti saya tidak ada di rumah, bisa lebih parah? Jawabannya bisa jadi.

Sampai saat ini saya meyakini bahwa kehadiran anak dalam rumah mampu mereduksi potensi suami-istri/bapak-ibu untuk bertengkar dan berperilaku di luar batas.

Saya teringat dengan apa yang dikatakan host ternama saat ini, Desta, yang membuat tattoo gambar anaknya di tangan. Beliau mengatakan kurang lebih intinya seperti ini:

"Tattoo di tangan ini jadi kayak reminder gue untuk tidak bertingkah aneh-aneh atau di luar batas. Jadi apa yang gue lakuin, akan selalu ingat dan untuk anak"

Inilah yang membuat saya kepikiran, kalau tidak ada saya di rumah apakah akan lebih pecah emosinya atau bisa dapat terkendali?

Anak di sini memang seperti "mediator aktif-pasif", aktif dalam arti bisa meleraikan atau menenangkan orangtua ketika bertengkar. Pasif dalam arti menjadi pengingat orangtua untuk tidak bertengkar supaya tidak ditiru oleh anak atau tidak membuat anak sedih.

Kesimpulannya adalah saya gelisah setelah kakak menikah dan lagi mencoba untuk memberikan kebahagiaan tanpa "mengasingkan" orangtua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun