Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ali dalam "Squid Game" adalah Realita Kehidupan Imigran

6 Oktober 2021   10:55 Diperbarui: 7 Oktober 2021   20:02 2693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Ali "Squid Game". Sumber: Tangkapan Layar Youtube Netflix

Squid Game, serial drama Korea bergenre thriller yang sedang hits saat ini dan berhasil meraih atensi, bukan hanya di Korea saja melainkan sudah mendunia.

Bila kita lihat di media sosial saat ini, isinya penuh dengan konten terkait Squid Game. Mulai dari, mempraktikkan permainan tradisional Korea, membuat permen dalgona, menjual pakaian ala peserta, dan membuat cover soundtracknya. 

Hype ini wajar saja, sebab sejak mulai ditayangkan pada tanggal 17 September di Netflix, Squid Game kini digadang-gadang akan memecahkan rekor. Rekor paling banyak ditonton di platform Netflix dan akan mengalahkan serial hits asal Perancis, Lupin.

Saya pribadi menyukai serial ini karena beberapa alasan, antara lain:

  • Budaya Korea Selatan-nya kuat sekali, mulai dari permainan, makanan, latar tempat, dan soundtrack
  • Mempunyai latar yang colorful dan sesuai dengan temanya "permainan tradisional anak-anak"
  • Alur ceritanya mudah dipahami karena simpel namun tidak kehilangan rentetannya plus ada bumbu drama
  • Menyampaikan banyak gambaran realita kehidupan nyata yang (mungkin) bisa menjadi pelajaran

Untuk poin keempat, bisa kembali dilihat di media sosial. Mulai banyak akun perusahaan bahkan pemerintahan sekalipun yang memberikan edukasi tentang literasi keuangan, khususnya terkait hutang. 

Sebab, simpul dari film Squid Game ini pun adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya dan kemudian ikut permainan berhadiah.

Namun, sebenarnya tidak hanya berhenti sampai di hutang, Squid Game memberikan gambaran realita lainnya yang (mungkin) belum kita sadari. 

Realita tersebut adalah kehidupan imigran.

Ali
Ali "Squid Game" saat permainan Red Light, Green Light. Sumber: Tangkapan Layar Youtube Netflix

Ali dengan nama lengkap Abdul Ali, bisa dibilang merupakan karakter yang "terlalu baik" dalam permainan Squid Game.

Semua peserta masuk ke dalam mode "survival" yang artinya mereka tidak peduli dengan orang lain, bahkan bisa saling membunuh dengan tujuan mengurangi pesaing untuk mendapatkan hadiah.

Tapi si Ali ini, tidak demikian dan malah menghambat dirinya sendiri dalam permainan.

Pada permainan "Red Light, Green Light", Ali menghambat dirinya sendiri dengan menyelamatkan Seong Gi-Hun supaya tidak terdeteksi oleh boneka dan tidak tertembak.

Begitu juga saat permainan "Gganbu", Ali bisa saja menang cepat tapi malah tergerak hatinya dan berujung tertipu oleh Cho Sang-Woo. Ali pun ditembak oleh penjaga karena kalah dalam permainan.

Keluarga Ali
Keluarga Ali "Squid Game". Sumber: Tangkapan Layar Youtube Netflix

Alasan di balik kebaikan Ali ini masih misteri.

Sebab, Ali sama seperti peserta lainnya yang terlilit hutang dan malah lebih buruk karena dirinya bukan orang asli Korea alias seorang imigran.

Ali mempunyai ciri-ciri fisik "tidak seperti" orang Korea dan peserta lainnya, namun ia fasih berbahasa Korea. 

Diperjelas juga saat Ali menjawab pertanyaan Sang-Woo kalau dirinya merupakan orang Pakistan dan hanya tinggal bersama istri serta seorang anak.

Imigran seperti Ali memiliki beberapa alasan meninggalkan negara asalnya dan menuju negara lain, seperti: 

  • Perang atau konflik berkepanjangan
  • Bencana alam
  • Pekerjaan yang terbatas
  • Pendidikan yang lebih baik
  • Kesehatan dan perawatan yang lebih baik

Menjalani hidup sebagai imigran itu sama sekali tidak mudah karena proses beradaptasinya pun sendiri butuh waktu yang lama. 

Diketahui Ali sudah berada di Korea Selatan sudah lebih dari satu tahun. 

Ali berimigrasi ke Korea Selatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak sehingga ia pun bekerja sebagaimana masyarakat pada umumnya.

Namun, sayangnya perlakuan di lapangan berbeda dengan impian.

Ali diketahui merupakan pekerja migran atau tepatnya buruh migran yang bekerja di sebuah pabrik logam yang dimiliki oleh orang Korea Selatan.

Ali bukanlah pekerja migran satu-satunya di sana dan terlihat dalam serial bahwa pabrik tersebut tampaknya merupakan tempat kerja para imigran.

Namun, perlakuan di tempat kerjanya tersebut malah semakin membawa penderitaan bagi Ali.

Saat adegan Ali menghampiri bos-nya, diketahui bahwa pabrik tersebut tidak memberikan gaji kepada Ali dan pekerja migran lainnya selama enam bulan. 

Gajinya tersebut malah digunakan oleh bos-nya untuk memenuhi keperluan pribadi.

Alhasil, harapan Ali untuk hidup lebih baik bersama keluarga berubah menjadi hidup menderita dan ia pun mengikuti permainan Squid Game. 

Ali
Ali "Squid Game" meminta uang untuk perjalanan pulang kepada Sang-Woo. Sumber: Tangkapan Layar Youtube Netflix

Imigran memang diidentikan dengan pekerjaan buruh atau ILO menyebutnya low-skilled. Sebab, para imigran seringkali dicap sebagai "pekerja tidak berpendidikan" dan bisa digaji murah.

Apa yang dialami oleh Ali bukanlah fiksi, melainkan sebuah kenyataan yang belum terselesaikan.

Michelle Leighton,seorang chief dari organisasi buruh internasional atau ILO, mengatakan:

"Pekerja migran sering menghadapi ketidaksetaraan perlakuan di pasar tenaga kerja, termasuk dalam hal upah, akses ke pekerjaan dan pelatihan, kondisi kerja, jaminan sosial, dan hak serikat pekerja. Mereka memainkan peran mendasar di banyak ekonomi."

Khusunya dalam hal upah, tak jarang pekerja migran mengalami upah yang tertunda, upah yang tidak dibayar, pemutusan hubungan kerja secara paksa, pemulangan tanpa menerima tunjangan akhir masa kerja, keterlambatan akses ke keadilan mengenai upah, pemotongan gaji secara sewenang-wenang.

ILO menyebutkan bahwa pekerja migran rata-rata berpenghasilan hampir 13 persen lebih rendah daripada pekerja nasional di negara-negara berpenghasilan tinggi. 

Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19, sebagai contoh ada di Korea Selatan sendiri.

Dilansir dari The Hankyoreh, pada pertengahan April 2020, seorang pekerja Bangladesh di sebuah pabrik tekstil di Siheung, Provinsi Gyeonggi, dipaksa untuk mengatakan bahwa dirinya setuju untuk cuti tanpa bayaran di perusahaan ini karena kesulitan keuangan yang disebabkan oleh wabah virus corona.  

Alhasil pekerja tersebut dia tidak menerima upah apa pun selama tiga bulan.

Para pekerja migran Indonesia pun juga mengalami hal yang sama. 

Pada Mei 2021, Migrant Care melakukan survei terhadap para pekerja migran Indonesia dan diperoleh hasil bahwa 20 persen pekerja migran tidak digaji dan tidak bisa mengirimkan uang kepada keluarga. Bahkan ada yang bekerja 11 tahun dan belum digaji.

Apa penyebab para pekerja migran mengalami perlakuan demikian?

Bagi saya penyebabnya ini kompleks namun simpulnya cuman satu, yaitu bagaimana masyarakat dan pemerintah memandang imigran itu sendiri.

Ketika imigran dipandang sebagai sebuah ancaman, sudah pasti akan diikuti oleh kebijakan pemerintah dan tindakan masyarakat yang diskriminatif atau tidak memberikan perlindungan.

Bahkan di negara-negara Eropa yang dianggap "maju dalam bermasyarakat", isu imigran ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat keras bahkan dijadikan sebagai alat politik.

Banyak yang menganggap kedatangan imigran adalah sebuah kemunduran bagi masyarakat lokal, karena dianggap akan merebut kesempatan kerja mereka dan dikhawatirkan merusak budaya setempat.

Imigran juga dianggap menyusahkan karena mau tidak mau pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih untuk sekadar perlindungan dan pembinaaan.

Padahal, bukan hal yang mustahil, jika imigran diberikan pelatihan, pembinaan, dan perlindungan yang baik, mampu menjadi penolong seperti yang dilakukan Ali dalam "Squid Game".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun