Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Trilogi 18 | Laki-Laki Korban Pelecehan

24 Mei 2022   19:13 Diperbarui: 24 Mei 2022   20:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku berada di satu bilik toilet sebuah klub malam bersama seorang perempuan berpakaian seksi yang juga merupakan teman kerjaku. Sesungguhnya kondisiku saat itu tidak sadar sepenuhnya karena pengaruh minuman keras yang cukup banyak dikonsumsi.

Satu hal yang teringat adalah aku dipaksa masuk ke sini meski toilet perempuan ada di sebelah. Hanya ada kami berdua dalam ruangan yang sudah dikunci. Ia berada di pangkuanku, mencumbu setiap bagian leher hingga dada dari balik kemeja yang terbuka. Aku mencoba melawan, tapi diri ini masih belum bisa melakukan apa-apa.

Selanjutnya terjadi hal yang lebih jauh. Ia mencoba mencoba melepaskan sabuk yang ada di celanaku, lalu tangannya itu mulai meraih sesuatu yang seharusnya tak boleh disentuh.

Kemudian latar berubah. Kini aku duduk sendirian di kamar mandi rumah dengan shower yang terus membasahi tubuh meski aku masih mengenakan celana dalam. Meski tidak sampai menangis, tapi teriakan ini menjadi tanda bahwa apa yang terjadi di malam itu sudah benar-benar membuat diriku berantakan.

"Saudara Rendra."

Suara perempuan yang juga psikolog itu memecahkan lamunanku. Aku dipanggil menuju salah satu ruangan yang pertama kutemui tiga tahun lalu. Padahal aku sudah tidak perlu lagi datang, tapi Damar lah yang memberi saran. Apalagi akhir-akhir ini dia mulai khawatir karena melihatku yang mudah cemas.

"Aku.... bertemu lagi dengan perempuan itu," kataku pada psikolog. "Dan kejadian tempo lalu itu menjadi mimpi buruk yang selalu menganggu." Aku melanjutkan.

Sialnya aku jadi harus mengingat kembali semuanya, menyusun puzzle tak utuh menjadi satu kenangan pahit.

***

Tiga tahun lalu aku bekerja di salah satu perusahaan iklan di Surabaya. Di hari itu semua pasang mata menatapku berbeda. Sejak pagi ketika pertama datang, mereka seperti menertawakanku diam-diam. Aku belum bereaksi, hanya menjalani aktivitas pekerjaan seperti biasa.

Sampai salah satu temanku diam-diam menyeret bangkunya hingga kami duduk bersebelahan.

"Udah ngapain aja nih sama Arina?" tanyanya menggoda setengah berbisik.

Keringat dingin menetes meski aku berada di ruangan ber-AC. Bagaimana mungkin kejadian dua hari lalu itu bisa langsung diketahui olehnya? Atau mungkin, tatapan yang kurasakan dari rekan lainnya adalah soal itu. Dan yang bisa membocorkannya hanyalah perempuan itu langsung.

Pertanyaan itu sama sekali tak kujawab, meninggalkannya yang kebingungan melihatku tiba-tiba pergi. Aku turun ke lantai tiga, tempat di mana karyawan bagian sales berkumpul. Di lobi itu, kami bicara empat mata.

"Maksud kamu apa sih cerita ke orang-orang soal kejadian itu?" tanyaku penuh tekanan meski dengan volume rendah.

"Lho, memangnya kenapa? Itu hal lumrah kok. Lagi pula kita sama-sama menikmatinya, kan?" Ia bertanya balik dengan santai.

"Dengar baik-baik," kataku menahan emosi dengan memberi telunjuk ke hadapannya. "Nggak ada kesepakatan antara kita untuk melakukan itu. Aku dipaksa minum banyak dan dalam kondisi setengah sadar."

Jantung ini berdetak kencang dengan air mata yang masih bisa kutahan. Enak sekali dia memperlakukanku seperti boneka, lalu menyebarkan cerita bahwa aku ikut menikmatinya.

"Berapa kali perlu aku bilang sih, aku itu dipaksa! Dan ini semua nggak sekotor yang kalian pikir. Kita nggak sampai berhubungan seksual!"

Entah berapa kali aku harus menjelaskan pada rekan-rekan kerjaku itu agar mengerti bagaimana kondisi yang sebenarnya. Tapi tetap saja, mereka meremehkan sambil tertawa puas di hadapanku.

"Udah lah, Ren, santai aja sama kita. Hal kayak gitu udah biasa, kok."

"Kalau dipaksa mana mungkin punyamu itu sampai tegang?"

"Jangan munafik, lah. Cowo juga pasti punya nafsu."

Maka satu minggu itu menjadi hal terberat untukku. Bertemu mereka membuat rasa cemasku meningkat. Tidak bisa berkonsentrasi kerja, sampai lebih sering menyendiri. Bahkan aku sengaja mengambil cuti untuk benar-benar menenangkan diri di rumah selama beberapa hari.

Jauh dari mereka tidak menjamin bahwa jiwaku tenang sepenuhnya. Adegan menjijikan di toilet klub malam itu sering tiba-tiba datang bahkan ketika aku tidur. Begitu bangun, desah napas tak teratur dengan keringat yang membasahi tubuh.

Sepertinya memang benar bahwa tidak akan ada ruang untuk korban pelecehan seksual, terlebih jika dia laki-laki.

***

Ini minggu kedua aku belum masuk kerja. Masih menghabiskan waktu sendirian di rumah dan lebih sering melamun depan televisi. Waktu makan dan tidur jadi berantakan, membuat tubuhku sedikit lebih kurus.

Terkadang aku hanya menghabiskan waktu di kamar mandi dengan shower hangat membasahi tubuh. Teriak sekencang mungkin meski tahu tidak akan ada yang mendengar.

Lalu, salah seorang rekan kerja datang ke sini. Naya, staff HRD. Kebetulan aku memang cukup kenal dengannya karena seumuran. Mungkin dia melihat absensiku yang kosong selama ini, jadi memaksakan diri datang.

"Aku dijebak, Nay," kataku sedikit bergetar. "Dari awal aku nggak mau datang ke acara mereka, apalagi aku nggak biasa minum minuman keras gitu."

"Jadi, ini bukan soal suka sama suka, kan?"

"Jelas bukan! Kemaluan aku dipegang dan dimainkan seenaknya, lalu kancing baju terbuka semua. Aku nyaris telanjang bahkan tanpa persetujuan. Untung karyawan sana menyadari ada yang janggal dan menggedor pintu kami, jadi mau nggak mau Arina mengentikan permainannya."

"Baik, sampai sini aku paham," jawab Naya sambil menulis sesuatu di buku kecilnya.

"Pandangan orang-orang justru menganggap aku naif. Belum lagi stigma mereka yang menganggap bahwa laki-laki hanya bisa jadi pelaku pelecehan, bukan sebaliknya. Aku capek, Nay. Aku nggak bisa lagi dapat tekanan dan tuduhan kayak gini."

Tangisan itu pada akhirnya pecah setelah selama ini aku tahan. Naya berusaha menenangkan dengan berpindah tempat duduk ke sampingku. Setelah perasaanku cukup membaik, Naya pamit dengan merekam hasil percakapan kami untuk diselidiki lebih lanjut.

"Nay," kataku menahannya ketika ia baru melangkah keluar. "Aku mau mengajukan pengunduran diri secepatnya."

***

Tiga tahun setelahnya adalah masa pemulihan yang membuatku perlahan bangkit. Pindah ke Kota Jakarta dan bertemu kawan lamaku, Damar. Dia memiliki rekomendasi psikolog yang membantuku konsultasi atas rasa cemas saat bertemu dengan orang banyak. Apalagi kepercayaanku terhadap orang asing perlahan mulai hilang.

Aku yang awalnya hanya bisa bekerja di rumah sebagai freelance writer dan designer, kini bisa kembali bekerja kantoran lagi seperti dulu. Bertemu orang baru, dan bersosialisasi layaknya orang kebanyakan.

Lalu di kereta lokal yang padat sore itu ketika pulang kerja, aku melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi sedang meremas bagian belakang tubuh perempuan. Aku langsung menyergap tangannya dan menatapnya tajam, hingga laki-laki itu langsung pergi ketika kereta berhenti di salah satu stasiun.

"Rendra?" kata perempuan yang barusan kutolong itu. "Barusan kamu yang nolong aku?"

Itu Arina, yang membuatku sangat kaget dan tanpa pikir panjang langsung pergi dari hadapannya, meski ia tampak berusaha mengejarku.

Aku tidak bisa bertemu lagi dengan Arina. Rasa cemas yang dulu pulih kini berbalik datang meski tak sampai separah waktu itu.

Jadi, di sinilah aku bertemu psikolog yang dulu pernah menolongku. Menceritakan kembali kejadian dulu dan tentang pertemuan kembali yang tak diharapkan itu. Kurang lebih selama satu jam aku mendapat saran terbaik dari psikolog kenalan Damar ini. Ia masih terlihat muda, mungkin usianya sekitar 30 tahunan.

"Saya yakin kamu bisa segera membaik. Ini hanya rasa kekhawatiran yang wajar," katanya menutup pertemuan ini, lalu kami bersalaman.

"Terima kasih, Larisa," kataku sambil tersenyum.

Memang sejak awal, psikologku ini hanya ingin dipanggil dengan nama langsung. Jadi setiap aku datang konsultasi, aku megikuti aturannya itu.

Begitu keluar pintu dan hendak menghubungi Damar, seorang anak sekolah berseragam SMP terburu-buru datang dari arah berlawanan dan menabrakku. Setelah meminta maaf sebentar, ia masuk ke ruangan Larisa dan menutupnya secara kasar.

Rasanya di waktu konsultasiku yang lain aku pernah bertemu gadis itu. Kalau tidak salah... dia adalah adik Larisa.

***

Laki-Laki Korban Pelecehan - Selesai

Baca juga cerita Damar di sini

Larisa will return in the next story

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun