"Jelas bukan! Kemaluan aku dipegang dan dimainkan seenaknya, lalu kancing baju terbuka semua. Aku nyaris telanjang bahkan tanpa persetujuan. Untung karyawan sana menyadari ada yang janggal dan menggedor pintu kami, jadi mau nggak mau Arina mengentikan permainannya."
"Baik, sampai sini aku paham," jawab Naya sambil menulis sesuatu di buku kecilnya.
"Pandangan orang-orang justru menganggap aku naif. Belum lagi stigma mereka yang menganggap bahwa laki-laki hanya bisa jadi pelaku pelecehan, bukan sebaliknya. Aku capek, Nay. Aku nggak bisa lagi dapat tekanan dan tuduhan kayak gini."
Tangisan itu pada akhirnya pecah setelah selama ini aku tahan. Naya berusaha menenangkan dengan berpindah tempat duduk ke sampingku. Setelah perasaanku cukup membaik, Naya pamit dengan merekam hasil percakapan kami untuk diselidiki lebih lanjut.
"Nay," kataku menahannya ketika ia baru melangkah keluar. "Aku mau mengajukan pengunduran diri secepatnya."
***
Tiga tahun setelahnya adalah masa pemulihan yang membuatku perlahan bangkit. Pindah ke Kota Jakarta dan bertemu kawan lamaku, Damar. Dia memiliki rekomendasi psikolog yang membantuku konsultasi atas rasa cemas saat bertemu dengan orang banyak. Apalagi kepercayaanku terhadap orang asing perlahan mulai hilang.
Aku yang awalnya hanya bisa bekerja di rumah sebagai freelance writer dan designer, kini bisa kembali bekerja kantoran lagi seperti dulu. Bertemu orang baru, dan bersosialisasi layaknya orang kebanyakan.
Lalu di kereta lokal yang padat sore itu ketika pulang kerja, aku melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi sedang meremas bagian belakang tubuh perempuan. Aku langsung menyergap tangannya dan menatapnya tajam, hingga laki-laki itu langsung pergi ketika kereta berhenti di salah satu stasiun.
"Rendra?" kata perempuan yang barusan kutolong itu. "Barusan kamu yang nolong aku?"
Itu Arina, yang membuatku sangat kaget dan tanpa pikir panjang langsung pergi dari hadapannya, meski ia tampak berusaha mengejarku.