Sampai salah satu temanku diam-diam menyeret bangkunya hingga kami duduk bersebelahan.
"Udah ngapain aja nih sama Arina?" tanyanya menggoda setengah berbisik.
Keringat dingin menetes meski aku berada di ruangan ber-AC. Bagaimana mungkin kejadian dua hari lalu itu bisa langsung diketahui olehnya? Atau mungkin, tatapan yang kurasakan dari rekan lainnya adalah soal itu. Dan yang bisa membocorkannya hanyalah perempuan itu langsung.
Pertanyaan itu sama sekali tak kujawab, meninggalkannya yang kebingungan melihatku tiba-tiba pergi. Aku turun ke lantai tiga, tempat di mana karyawan bagian sales berkumpul. Di lobi itu, kami bicara empat mata.
"Maksud kamu apa sih cerita ke orang-orang soal kejadian itu?" tanyaku penuh tekanan meski dengan volume rendah.
"Lho, memangnya kenapa? Itu hal lumrah kok. Lagi pula kita sama-sama menikmatinya, kan?" Ia bertanya balik dengan santai.
"Dengar baik-baik," kataku menahan emosi dengan memberi telunjuk ke hadapannya. "Nggak ada kesepakatan antara kita untuk melakukan itu. Aku dipaksa minum banyak dan dalam kondisi setengah sadar."
Jantung ini berdetak kencang dengan air mata yang masih bisa kutahan. Enak sekali dia memperlakukanku seperti boneka, lalu menyebarkan cerita bahwa aku ikut menikmatinya.
"Berapa kali perlu aku bilang sih, aku itu dipaksa! Dan ini semua nggak sekotor yang kalian pikir. Kita nggak sampai berhubungan seksual!"
Entah berapa kali aku harus menjelaskan pada rekan-rekan kerjaku itu agar mengerti bagaimana kondisi yang sebenarnya. Tapi tetap saja, mereka meremehkan sambil tertawa puas di hadapanku.
"Udah lah, Ren, santai aja sama kita. Hal kayak gitu udah biasa, kok."