Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Broken for Nothing

13 Mei 2022   20:01 Diperbarui: 13 Mei 2022   20:05 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ada keadaan ketika seseorang patah hati, sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Dia yang telah mencampakkan, atau justru diri sendiri karena berharap terlalu banyak?

Dulu aku berpikir bahwa ini salah dia seutuhnya. Yang duluan melakukan pendekatan, menyampaikan soal perasaan, tapi berbalik memberi fakta busuk berbentuk panah yang langsung menancap tepat di dada.

"Aku mau tunangan. Dijodohkan oleh orang tua," kata laki-laki itu ketika ia baru saja mengantarku dengan mobilnya di depan rumah.

Ini pasti bercanda, kataku dalam hati. Tapi begitu melihat raut wajahnya yang serius menahan beban, aku paham bahwa tidak ada kebohongan dari apa yang diucapnya.

Aku bergegas keluar mobil tanpa ingin mendengar lebih jauh penjelasannya. Ia sempat mengikuti, tapi aku sudah duluan masuk ke rumah dan langsung menuju kamar tanpa mempedulikan orang tuaku yang ada di ruang tengah.

Di sana aku menangis, menghabiskan air mata yang selama ini tak pernah terkuras sejak mengenalnya.

Tapi sekarang, aku sadar bahwa patah hati ini disebabkan oleh diri sendiri juga. Aku terlalu banyak menaruh ekspektasi pada dia yang sebenarnya terhitung sebagai orang asing. Terhipnotis pada setiap rayu hingga genggaman tangannya, kemudian membawaku naik ke tempat tinggi, tanpa tersadar aku bisa jatuh kapan saja dengan rasa sakit yang juga semakin tinggi.

"Sejak awal Gama adalah laki-laki brengsek," kata Raka, salah satu teman terdekatku.

Raka seperti detektif. Ia menyerahkan amplop besar warna coklat yang berisikan banyak foto mantan pacarku itu dengan kekasih barunya. Ada juga data-data penting yang tertulis rapi di beberapa lembar kertas putih ukuran A4. Tentang siapa perempuan itu, dan fakta tersembunyi bahwa hubungan mereka sudah terjalin nyaris 3 tahun. Padahal aku baru mengenalnya kurang lebih setahun ke belakang.

Itu artinya selama ini aku adalah sebagai selingkuhannya.

"Terus, apa yang harus aku lakukan, Ka?" tanyaku dengan pikiran kosong.

"Agnia, kamu sudah masuk ke dalam permainan kotornya. Kali ini, kita balas dengan cara yang tidak kalah kotor."

***

Maka di sinilah aku saat ini, berdiri di sebuah panggung kecil dalam restoran keluarga bintang lima sebagai salah satu pengisi acara di acara pertuangan Gama, laki-laki brengsek itu. Raka yang mengatur semuanya hingga aku bisa membawakan lagu di acara penting ini.

Untungnya juga sobat laki-lakiku ini sangat cerdik melakukan banyak cara ke Wedding Organizer untuk bisa merekomendasikan aku bernyanyi dengan melihat latar belakangku yang memang sering mendapatkan banyak penghargaan sejak bangku sekolah.

Pertama bertemu sebelum acara mulai aku bisa melihat keterkejutan Gama dari raut wajahnya. Ia tak bisa berkata-kata, sementara aku dengan santainya memberi salam, termasuk ke pasangannya yang sama-sama mengenakan pakaian nuansa batik serba coklat.

"Hai, Gama dan Fira, kenalkan ini Agnia sebagai penyanyi di acara kalian nanti," kata Raka dengan senyum liciknya.

"Halo, Agnia. Kamu cantik sekali pakai gaun ini," katanya memuji setelah kami berjabat tangan.

"Congrats untuk kalian. Aku ikut bahagia."

Acara inti dimulai. Prosesi sakral itu berlangsung khidmat dengan kehadiran keluarga besar dan orang terdekat. Penukaran cincin pada masing-masing pasangan mulanya terasa sesak di dadaku. Tapi Raka berusaha menenangkan dengan menggenggam tangan kiriku.

Sekarang giliran aku yang bertugas, membawakan beberapa lagu di puluhan pasang mata yang sedang menikmati hidangan. Salah satu yang kunyanyikan adalah lagu Brisia Jodie berjudul Kisahku.

Kini kau pergi, meninggalkan luka ini...
Sesuka hati kau permainkan rasaku...

Tepat di bagian itu ketika nada tinggi sempurna kubawa tanpa meleset, para tamu di sana serentak menatapku dan memberi tepuk tangan. Terutama Fira, yang ada di ujung sana memandang dengan takjub. Beda sekali dengan calon suaminya yang masih terlihat tegang.

"Lagu terakhir kamu tadi bagus banget. Benar-benar menghayati seperti memang kamu yang mengalaminya," kata Fira ketika aku baru selesai dari panggung dan hendak mengambil minum.

"Well, aku memang punya pengalaman yang kurang mengenakan dalam hal asmara," kataku memasang senyum palsu sambil sesekali menatap Gama. "Udah kenal sama orang tua dan sering main ke rumah, ternyata malah mau nikah sama seseorang. Sejujurnya itu menyakitkan."

"I feel so sorry for that." Fira menenangkan dengan mengelus pelan bahuku.

Tak lama setelah itu Raka datang, mengajakku untuk segera pergi karena kebetulan waktu di sini pun sudah selesai. Sebelum benar-benar pergi, aku bersalaman dengan Gama yang dari tadi belum membuka suara, kemudian membisikkann sesuatu ke telinganya.

"Karma will find you. Sooner or later."

***

Sekitar tiga minggu kemudian ketika bersantai di teras rumah saat sore semakin memberikan kilauan jingga, Raka datang dengan semangat dan menyeruput teh hangatku di permukaan meja yang sama sekali belum diminum. 

"Rencana kita berhasil. Fira memutuskan pertunangannya dengan Gama!"

Aku nyaris tak percaya rencana kotor ini berjalan bahkan lebih cepat dari dugaan awal. Dari rencana Raka yang mencarikan perempuan cantik untuk mendekati Gama menggunakan aplikasi Tinder. Ternyata, jiwa busuknya itu sama sekali belum hilang.

Gama terpikat tanpa proses lama, lalu hubungan terlarang itu berlanjut sangat rapi tanpa sepengetahuan calon istrinya. Yang tak Gama tahu adalah Raka selalu ada di antara keduanya yang sedang berkencan, kemudian mengambil gambar mereka diam-diam yang pada akhirnya dicetak, lalu dikirim ke alamat Fira.

"Berarti kita menang, Agnia. Patah hati kamu selama ini nggak ada apa-apanya sama balasan yang kamu dapat sekarang."

Dengan refleks, aku memeluk Raka erat yang langsung dibalas dengan sentuhan hangat di balik punggung.

"Makasih banyak ya, Ka. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih terpuruk sampai sekarang."

"That's okay. Itu gunanya teman, kan?"

Aku melanjutkan waktu santai sambil menikmati matahari terbenam bersama Raka. Kami membahas banyak kenangan yang mengundang tawa, bukan lagi patah hati yang sempat hadir dalam kehidupanku meski hanya sesaat.

"Nia, apa nggak sebaiknya kamu mulai membuka hati?" tanya Raka pelan menatapku serius.

"Aku... masih belum tahu Ka. Rasanya sendiri dulu lebih baik," jawabku kemudian menggenggam tangannya. "Yang penting selalu ada kamu di sini."

Raka membalas dengan senyuman yang sangat meneduhkan.

***

Broken For Nothing - Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun