Jika ada keadaan ketika seseorang patah hati, sebenarnya siapa yang harus disalahkan? Dia yang telah mencampakkan, atau justru diri sendiri karena berharap terlalu banyak?
Dulu aku berpikir bahwa ini salah dia seutuhnya. Yang duluan melakukan pendekatan, menyampaikan soal perasaan, tapi berbalik memberi fakta busuk berbentuk panah yang langsung menancap tepat di dada.
"Aku mau tunangan. Dijodohkan oleh orang tua," kata laki-laki itu ketika ia baru saja mengantarku dengan mobilnya di depan rumah.
Ini pasti bercanda, kataku dalam hati. Tapi begitu melihat raut wajahnya yang serius menahan beban, aku paham bahwa tidak ada kebohongan dari apa yang diucapnya.
Aku bergegas keluar mobil tanpa ingin mendengar lebih jauh penjelasannya. Ia sempat mengikuti, tapi aku sudah duluan masuk ke rumah dan langsung menuju kamar tanpa mempedulikan orang tuaku yang ada di ruang tengah.
Di sana aku menangis, menghabiskan air mata yang selama ini tak pernah terkuras sejak mengenalnya.
Tapi sekarang, aku sadar bahwa patah hati ini disebabkan oleh diri sendiri juga. Aku terlalu banyak menaruh ekspektasi pada dia yang sebenarnya terhitung sebagai orang asing. Terhipnotis pada setiap rayu hingga genggaman tangannya, kemudian membawaku naik ke tempat tinggi, tanpa tersadar aku bisa jatuh kapan saja dengan rasa sakit yang juga semakin tinggi.
"Sejak awal Gama adalah laki-laki brengsek," kata Raka, salah satu teman terdekatku.
Raka seperti detektif. Ia menyerahkan amplop besar warna coklat yang berisikan banyak foto mantan pacarku itu dengan kekasih barunya. Ada juga data-data penting yang tertulis rapi di beberapa lembar kertas putih ukuran A4. Tentang siapa perempuan itu, dan fakta tersembunyi bahwa hubungan mereka sudah terjalin nyaris 3 tahun. Padahal aku baru mengenalnya kurang lebih setahun ke belakang.
Itu artinya selama ini aku adalah sebagai selingkuhannya.
"Terus, apa yang harus aku lakukan, Ka?" tanyaku dengan pikiran kosong.