Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kukira Kita Akan Bersama

19 Maret 2022   09:26 Diperbarui: 19 Maret 2022   09:27 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kukira kita akan bersama,
Begitu banyak yang sama latarmu dan latarku,

Pertama mendengarnya seminggu lalu sama sekali tak memberikan efek apa-apa pada diri ini. Tapi ketika lagu berjudul Hati-Hati di Jalan tanpa sengaja terputar lewat playlist Spotify hari ini, aku sadar bahwa maknanya memang cukup dalam.

Tentang dua manusia yang dipertemukan pada satu waktu, kemudian sadar telah sama-sama menemukan jalan pulang. Keduanya percaya bahwa memang inilah titik akhir pada perjalanan itu. Sayangnya, ada satu teori yang sempat dilupakan bahwa setiap apa yang dipertemukan Tuhan, tidak serta merta menjadi sesuatu yang diharuskan bersama selamanya.

Sama dengan ceritaku yang menyangka bahwa semua akan berjalan mulus, namun justru berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus diterima.

"Aku suka sama kamu."

Ingatan itu kemudian terputar lebih jauh dalam putaran lambat ketika ia sengaja mampir ke apartemen milikku tepat saat hujan deras mengguyur kota. Sekujur tubuhnya nyaris basah, memancing reaksiku mengambil handuk, kemudian mengeringkan rambut panjangnya sampai mata kami bertemu dalam beberapa detik.

Dan pernyataan perasaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut ini tanpa pernah direncanakan. Wajahnya yang manis seketika menghipnotis diri hingga aku berani mendekatkan wajah lebih dekat dengannya sampai dua bibir kami bertemu dalam satu ciuman lembut.

Yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaan. Tanpa aku paksa, ia membalas ciuman itu dengan lebih panas. Bibirnya yang basah namun candu belum bisa kulupakan sepenuhnya hingga saat ini.

Di pagi harinya, aku ingat terbangun masih memeluk perempuan itu bahkan tanpa mengenakan busana. Kucium keningnya, membisikkan sesuatu yang mungkin tak didengarnya karena belum sadar.

"Kita akan bersama, selamanya."

Setelah hari itu, aku merasa jadi orang paling bahagia di dunia.

***

Perjalanan memawamu bertemu denganku,
Ku bertemu kamu,

Di tempat kerja, lagu itu terputar di komputer sebelahku. Aku tahu bahwa rekanku itu memang sering mendengarkan lagu lewat YouTube ketika waktu istirahat. Dan lagi-lagi ingatan tentangnya kembali datang padahal aku sama sekali tak menginginkannya.

Tentang saat itu, ketika aku pertama kali mengenalnya pada momen canggung yang memalukan. Tertidur di pundaknya ketika kami kebetulan ada di kereta lokal yang sama. Saat terbangun, senyum jahilnya jadi hal pertama yang kulihat.

"Gimana, nyenyak, Mas?"

"Eh, maaf. Aku nggak sadar tadi ketiduran."

Tak lama setelahnya kereta berhenti di stasiun yang kutuju. Dia juga sama, turun bersamaku di sana, lalu kedua tangan kami berjabat yang jadi awal mula perkenalan itu.

"Erlangga Afganessa, biasa dipanggil Angga." kataku.

"Zoya. Just Zoya," balasnya dengan senyum simpul.

Aku merasa bahwa Tuhan memang punya maksud dalam mempertemukan kami. Karena tanpa kuharapkan sebelumnya, lagi-lagi pertemuan bersama Zoya kembali terjadi di tempat yang berbeda. Kali ini di salah satu toko buku ibu kota ketika aku hendak mencari komik keluaran terbaru. Dia sendirian, dengan rambut panjangnya, berdiri mematung di rak novel.

Dari sana kami sepakat untuk saling mengobrol ringan di salah satu kafe kopi yang tak begitu jauh dari lokasi. Bertukar kontak, hingga komunikasi dan pertemuan kembali mulai intens kami lakukan.

Setiap pulang kerja, misalnya, kami akan menyempatkan waktu untuk bertemu di mana pun tempatnya. Kadang di pinggir jalan menikmati nasi goreng harga 15 ribu, sampai ke tempat makan Korea kesukaannya yang harganya jelas berkali-kali lipat. Tapi bagiku bukan masalah tempat atau harga, melainkan bersama siapa aku bisa menghabiskan waktu.

Sialnya tanpa kusadari, inilah patah hati yang sebenarnya sudah terlihat di titik awal.

***

Entah apa maksud dunia,
Tentang ujung cerita kita tak bersama,

Di taksi online yang kupesan malam itu setelah pulang kerja, lagu Hati-Hati di Jalan kembali mengganggu pikiran. Apalagi siang tadi aku mendapat sebuah paket yang isinya adalah undangan pernikahan Zoya bersama pria pilihannya.

Ini menjadi tamparan keras untukku supaya tak lagi mengingat kenangan manis dengan perempuan itu, tapi juga harus mengingat pada satu bagian penting kenapa cerita kami tak akan bermuara pada titik yang sama.

Kali itu kami sengaja mereservasi satu restoran mewah yang ada di puncak gedung tinggi pusat kota. Pemandangan malam dan lampu remang-remang menambah suasana romantis seakan hanya ada kami berdua saja di sini.

“Zoya,” kataku menggenggam tangannya setelah menu yang kami pesan sudah sama-sama habis.

Ia tak menjawab, hanya memberikan tatapan penasaran sembari memberiku satu senyum simpul khas yang selalu jadi pengisi daya semangatku.

Will you marry me?” tanyaku mengeluarkan kotak kecil dari saku kemeja. Membukanya, hingga benda berkilau itu menjadi tanda pertama bahwa aku ingin serius dengannya.

Tapi Zoya bukan memberikan ekspresi bahagia, melainkan sebuah rasa kaget yang di dalamnya tersimpan satu keraguan yang samar terlihat.

“Maaf, Angga, aku… aku belum bisa.”

Aku tidak memaksa karena mungkin saja menurutnya ini terlalu cepat. Maka malam itu dilewati cukup canggung tanpa ada tawa atau cerita yang biasa kami bagi. Semua jadi berjalan kaku, bahkan hingga hari-hari berikutnya.

"Zoya, kamu nggak bisa selamanya menghindar dari aku!" kataku sore itu di trotoar jalan ketika sengaja datang ke tempat kerjanya.

"Aku butuh waktu sendirian, Angga."

"Tiga hari belum cukup, hah?"

"Bisa jadi aku butuh waktu seumur hidup untuk memastikan lepas dari kamu."

Kemudian ia pergi dijemput seseorang yang tak kutahu siapa. Meninggalkanku, dengan banyak pertanyaan di pikiran.

***

Semoga rindu ini menghilang,
Konon katanya waktu sembuhkan,
Akan adakah lagi yang sepertimu?

Pagi ini aku sengaja memilih lagu Tulus untuk membuka hari. Dengan sepasang TWS yang terpasang di telinga, aku melihat diri sendiri di depan cermin mempersiapkan hari ini, yaitu pernikahan Zoya.

Kemeja putih polos dengan celana chino beige menjadi outfit yang kukenakan. Rambut yang mulai panjang sudah kuatur rapi dengan minyak rambut untuk menyempurnakan penampilan.

"Kalau kamu nggak bisa melanjutkan hubungan ini, setidaknya bertahanlah sedikit lagi."

Sabtu sore dua bulan lalu itu di apartemenku, dia datang tanpa diduga. Kali ini bukan cerita romantis seperti waktu dulu, melainkan menjadi keputusan sepihaknya untuk melepas diri dari hubungan ini.

"Mau sampai kapan kita bertahan, Angga? Nggak ada yang mau ngalah."

"Ya tapi kan..."

"Aku masih sayang Tuhan aku, sama seperti kamu yang begitu keras mempertahankan agamamu. Sejak awal, perbedaan kita tidak bisa dibuat sama. Kamu yang selalu aku ingatkan untuk ibadah 5 waktu, sampai kamu yang membangunkanku di Minggu pagi agar aku tidak telat datang ke gereja."

Aku terdiam, belum bisa memberikan komentar apa-apa.

"Tembok kita terlalu tinggi, dan aku nggak bisa berjuang lagi untuk memanjatnya."

Di sanalah kali terakhir aku melihat paras manisnya. Kami sama-sama sepakat untuk mengakhiri hubungan ini. Dan sebelum dia benar-benar pergi, aku meminta izin memeluknya sebentar saja.

Emosi tak tertahan, air mata mengalir deras membasahi pipi yang kemudian mengalir ke pundaknya.

"Makasih, Zoya. Sekali lagi, terima kasih."

Nostalgia pagi ini ditutup ketika persiapan diriku sudah sempurna. Begitu ingin mengambil dompet yang ada di permukaan meja, undangan pernikahan Zoya yang juga kuletakkan di sana sebenarnya sama sekali belum kubuka. Maka aku memilih menghabiskan waktu sebentar untuk membaca lebih detail isi undangan itu.

Semua terasa biasa seperti undangan pernikahan kebanyakan. Sampai aku sadar bahwa ada amplop kecil yang sepertinya sengaja diselipkan di sana. Di dalamnya ada sebuah kertas, lebih tepatnya pesan yang memang ditujukan untukku.

Untuk Erlangga Afganessa, seseorang yang pernah mengisi hariku penuh warna,

Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku tahu bahwa semuanya memang tidak mudah untuk kamu terima. Yakinlah bahwa Tuhanmu dan Tuhanku punya rencana baik meski kita tidak sampai di titik akhir yang sama.

Biarkan cerita kita menjadi pelajaran untuk ke depan bahwa yang sejalan bukan berarti bisa bersama selamanya.

Dan kisah kami, benar-benar berakhir di sini.

Kau melanjutkan perjalananmu,
Ku melanjutkan perjalananku,

***

Kukira Kita Akan Bersama - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun