Dari sana kami sepakat untuk saling mengobrol ringan di salah satu kafe kopi yang tak begitu jauh dari lokasi. Bertukar kontak, hingga komunikasi dan pertemuan kembali mulai intens kami lakukan.
Setiap pulang kerja, misalnya, kami akan menyempatkan waktu untuk bertemu di mana pun tempatnya. Kadang di pinggir jalan menikmati nasi goreng harga 15 ribu, sampai ke tempat makan Korea kesukaannya yang harganya jelas berkali-kali lipat. Tapi bagiku bukan masalah tempat atau harga, melainkan bersama siapa aku bisa menghabiskan waktu.
Sialnya tanpa kusadari, inilah patah hati yang sebenarnya sudah terlihat di titik awal.
***
Entah apa maksud dunia,
Tentang ujung cerita kita tak bersama,
Di taksi online yang kupesan malam itu setelah pulang kerja, lagu Hati-Hati di Jalan kembali mengganggu pikiran. Apalagi siang tadi aku mendapat sebuah paket yang isinya adalah undangan pernikahan Zoya bersama pria pilihannya.
Ini menjadi tamparan keras untukku supaya tak lagi mengingat kenangan manis dengan perempuan itu, tapi juga harus mengingat pada satu bagian penting kenapa cerita kami tak akan bermuara pada titik yang sama.
Kali itu kami sengaja mereservasi satu restoran mewah yang ada di puncak gedung tinggi pusat kota. Pemandangan malam dan lampu remang-remang menambah suasana romantis seakan hanya ada kami berdua saja di sini.
“Zoya,” kataku menggenggam tangannya setelah menu yang kami pesan sudah sama-sama habis.
Ia tak menjawab, hanya memberikan tatapan penasaran sembari memberiku satu senyum simpul khas yang selalu jadi pengisi daya semangatku.
“Will you marry me?” tanyaku mengeluarkan kotak kecil dari saku kemeja. Membukanya, hingga benda berkilau itu menjadi tanda pertama bahwa aku ingin serius dengannya.