Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Batas Realitas

29 Mei 2021   21:05 Diperbarui: 29 Mei 2021   21:18 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki itu masih tertidur di kasur kamarnya. Sepasang headset yang terpasang di kedua telinga masih belum terlepas, terus memutar musik klasik yang seminggu ke belakang sering ia dengarkan. Dua temannya ada di sana, baru tiba sekitar sepuluh menit lalu ketika matahari mulai menenggelamkan diri ke arah Barat.

Teman yang laki-laki mengguncang pelan bahunya sembari memanggil nama. Sementara teman yang perempuan menggenggam erat tangannya dengan harap ia bisa segera bangun.

"Salah satu dari kita harus nyusul dia, Ra," kata si laki-laki.

Jeda beberapa saat, sampai si perempuan menjawab. "Biar aku Ji yang lakukan ini. Aku udah yakin."

Rara dan Aji saling melempar pandang, mengingat kembali percakapan keduanya di kampus tadi sebelum datang ke sini.  Tentang perjalanan yang harus mereka tempuh demi menyelamatkan temannya. Tapi tidak bisa berdua, harus salah satu.

Keputusan sepihak yang dibuat Rara dapat langsung dimengerti oleh rekannya. Perempuan ini akan menjadi jembatan penghubung untuk menjemput kembali laki-laki yang sudah tertidur hampir dua hari itu. Membawanya pada kehidupan nyata, dengan meninggalkan realitas semu yang tak sengaja dibuat.

Salah satu kabel headset berwarna putih ditarik Rara dari telinga temannya itu, lalu dipasangkan pada telinga kanannya. Aji menatap cemas, sama seperti jantung Rara yang berdetak semakin kencang. Lagu klasik yang tersambung dari MP3 perlahan terdengar, membuat Rara mulai memejamkan mata dan terhanyut dalam melodi.

Aji menyamakan posisi duduk di samping Rara, menggenggam tangan perempuan itu yang kini sudah benar-benar terlelap.

***

Saat membuka mata, Rara ada di kampusnya. Semua pandangannya mendadak jadi hitam putih tanpa warna seakan berada dalam acara TV zaman dulu. Di sudut sana ada Marlo, laki-laki yang harus segera diselamatkannya. Rara bergerak mendekat, lalu kehadirannya itu langsung disadari oleh teman satu jurusannya itu.

"Aku suka sama kamu, Ra," kata Marlo dengan tatapan teduh.

"Aku udah jadian sama Aji, Mar."

Apa yang dilihat Rara saat ini masih berupa hitam putih yang kemudian disadarinya bahwa ini bukan realitas yang ingin ia tuju. Ini hanya celah kecil dalam ingatan Marlo beberapa minggu lalu. Ketika laki-laki itu mencoba mengungkapkan perasaannya, tapi jutsru bertepuk sebelah tangan karena gadis yang disukainya sudah memiliki hubungan dengan pria lain.

"Ah ya, I see. Kalian pasangan yang cocok," jawab Marlo dengan senyumnya yang belum pudar.

Latar tempat tiba-tiba terganti di sebuah kafe kopi dekat kampus. Kali ini yang jadi tokoh utama adalah Marlo dan Aji. Rara hanya di sana sebagai penonton yang sama sekali tak terlihat oleh keduanya.

"Maaf gue nggak cerita soal hubungan gue dan Rara. Gue cuma takut ini akan mengubah persahabatan kita."

"Santai lah, man. Gue baik-baik aja kok."

Sekali lagi senyuman itu menghipnotis Rara. Sebuah senyum tulus yang menjadi benteng atas hancurnya hari Marlo. Ia tak habis pikir bagaimana bisa laki-laki yang pernah ditolaknya itu sama sekali tak menunjukkan reaksi marah ataupun kecewa.

Ada satu latar lagi yang harus disaksikan Rara. Tetap dalam pandangan tanpa warna, kali ini hanya ada Marlo duduk sendirian di meja belajar kamarnya. Rara mencoba memanggil, tapi tak ada respons sama sekali dari laki-laki itu.

"Cuma dengan ini, kamu jadi milik aku, Ra," kata Marlo menatap MP3 player-nya. Ia menyetel sebuah lagu yang dihubungkan ke sepasang headset di telinganya. Tak lama setelah itu, Marlo tertidur.

"Marlo bangun! Kamu harus kembali!" Teriak Rara yang bahkan tak bisa mendengar suaranya sendiri.

Selanjutnya, lantai kamar yang ia pijak berubah tekstur menjadi air. Rara terjatuh, tenggelam di dalamnya, juga tenggelam dalam ketidakmengertian.

***

Kini dengan balutan gaun putih sederhana sebatas lutut, Rara duduk di permukaan rumput yang hijau. Betul, kali ini pandangan sudah seperti semula. Ia bisa melihat banyak warna di sini, termasuk langit cerah di atasnya yang berwarna biru seperti laut. Di sampingnya ada Marlo, mengenakan kemeja dan celana warna putih yang sedang berbaring di atas rumput.

"Mar?" tanya Rara hati-hati.

"Ya, sayang? Kenapa?" jawabnya lembut, dengan senyum yang tetap menghipnotis.

"Kita pulang, ya? Pergi dari sini."

Tatapan Marlo seketika berubah. Ia bangkit dengan wajah penuh amarah, disusul oleh Rara yang mencoba menenangkannya.

"Nggak seharusnya kita di sini. Dunia kamu bukan di sini, Marlo," jawab Rara bersamaan dengan angin yang meniup rambutnya.

"This is my world, not yours!"

Mendadak Marlo memiliki kekuatan. Ketika ia melebarkan tangan kanannya, Rara terhempas jauh dari tempat semulanya berdiri. Terjatuh, tapi tidak sampai terluka.

Marlo setengah berlari mendekat ke tempat Rara terjatuh. Sekali lagi ia melebarkan telapak tangannya untuk menyingkirkan perempuan itu dari hadapannya. Rara tidak tinggal diam. Ia juga punya kendali atas realitas Marlo, karena ia juga ada di sini sembari mendengarkan musik klasik di dunia sesungguhnya.

Sebelum benar-benar mendekat, Rara memasang kuda-kuda kakinya, lalu melebarkan kedua telapak tangannya untuk menahan serangan Marlo.

Ada sebuah dorongan seperti ledakan yang melempar Marlo sampai benar-benar jatuh tak berdaya. Rara menyusulnya dengan berlari cepat, melihat Marlo yang kini seperti ketakutan.

"Jangan bawa aku pergi, Ra. Aku bahagia di sini."

"Nggak bisa, Mar. Aku jauh-jauh ke sini untuk jemput kamu. Oke?"

Untuk pertama kalinya, Rara melihat Marlo menangis. Dalam pelukannya.

***

Sudah setengah jam Aji menunggu di sini. Sesekali ia berputar keliling kamar untuk menghilangkan rasa stresnya. Berbagai pikiran menyelimuti diri karena takut terjadi sesuatu pada Rara dan Marlo.

Tak lama dari itu Rara terbangun dengan tubuh penuh keringat. Ia masih nampak cemas memandang sekitar seperti orang kebingungan. Headset putih itu terlepas dengan sendirinya, menyisakan Marlo yang masih tertidur dengan mendengar lagu itu.

"Ra, Marlo gimana?"

"A-aku udah berusaha yang terbaik, Ji. Ta-tapi aku nggak tahu apa dia..."

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, keduanya mendengar suara orang terbatuk. Ketika menoleh, semuanya saling tatap lalu memeluk Marlo bersamaan. 

"Gu-gue haus," kata Marlo. Aji langsung menyerahkan air mineral kemasan yang ia bawa dari dalam tasnya.

Aji menjadi yang paling emosional dan mengeluarkan air mata sederas mungkin. Ia merasa menyesal harus menjalin hubungan dengan Rara sementara sahabatnya ini justru terjebak dalam realitas tanpa batas. Rara pun sama, berkali-kali ia mengucapkan maaf karena sesungguhnya pemeran utama atas patah hati Marlo adalah dirinya sendiri.

"Kalian berdua nggak salah. Aku yang terlalu bodoh."

"Kamu harus janji untuk nggak mengulang hal itu lagi," kata Rara penuh harap. "Kita cukup hidup di sini, bukan di realitas kamu itu."

Marlo terdiam sejenak, kemudian memberi senyum khas sebagai tanda kata iya.

"Ya udah, kita ke bawah, yuk. Kakak kamu nggak kalah khawatir sama kondisi kamu."

Marlo mengikuti saran Rara untuk segera ke bawah menemui kakaknya. Mereka berdua keluar kamar duluan, sementara Aji masih berdiam diri di sana menatap MP3 player milik Marlo yang tergeletak di permukaan kasur.

Seperti ada bisikan yang menggodanya untuk mendengarkan lagu klasik yang pernah Marlo putar. Aji meraihnya, memasang headset pada kedua telinga dan mendengar lagunya yang cukup enak sebagai pengantar tidur.

Tapi yang ia tak sadari, rasa kantuk itu datang begitu cepat. Menghipnotisnya hingga ia benar-benar tertidur di kamar Marlo.

***

Batas Realitas - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun