Aji menjadi yang paling emosional dan mengeluarkan air mata sederas mungkin. Ia merasa menyesal harus menjalin hubungan dengan Rara sementara sahabatnya ini justru terjebak dalam realitas tanpa batas. Rara pun sama, berkali-kali ia mengucapkan maaf karena sesungguhnya pemeran utama atas patah hati Marlo adalah dirinya sendiri.
"Kalian berdua nggak salah. Aku yang terlalu bodoh."
"Kamu harus janji untuk nggak mengulang hal itu lagi," kata Rara penuh harap. "Kita cukup hidup di sini, bukan di realitas kamu itu."
Marlo terdiam sejenak, kemudian memberi senyum khas sebagai tanda kata iya.
"Ya udah, kita ke bawah, yuk. Kakak kamu nggak kalah khawatir sama kondisi kamu."
Marlo mengikuti saran Rara untuk segera ke bawah menemui kakaknya. Mereka berdua keluar kamar duluan, sementara Aji masih berdiam diri di sana menatap MP3 player milik Marlo yang tergeletak di permukaan kasur.
Seperti ada bisikan yang menggodanya untuk mendengarkan lagu klasik yang pernah Marlo putar. Aji meraihnya, memasang headset pada kedua telinga dan mendengar lagunya yang cukup enak sebagai pengantar tidur.
Tapi yang ia tak sadari, rasa kantuk itu datang begitu cepat. Menghipnotisnya hingga ia benar-benar tertidur di kamar Marlo.
***
Batas Realitas - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H