"Marina, mau pulang bareng saya? Kayaknya hujan akan lama redanya," katanya menawarkan bantuan.
Aku tidak langsung menjawab karena sejujurnya masih merasa takut jika terus berduaan bersama orang menakutkan seperti ini.
"Gimana? Arah tempat tinggal kita nggak begitu jauh, kok."
"Bo-boleh, Mas," jawabku ragu karena tak memiliki pilihan lain, kemudian kembali memberi pesan pada Mark bahwa aku tak perlu dijemput.
"Jangan panggil Mas kalau udah di luar kerjaan. Panggil aja Surya."
Tak lama dari itu, aku dan Surya segera ke bawah menuju tempat parkir. Untung dia membawa payung sehingga kami tak perlu terlalu basah kuyup menerobos hujan.Â
Di dalam mobil, Surya membantu mengeratkan sabuk pengaman yang barusan sulit kupasang. Mata kami sempat bertemu dalam beberapa detik.Â
Saat itu juga aku merasa ada sesuatu dalam tatapannya yang bisa menghipnotisku. Rasanya benar bahwa aku pernah bertemunya di satu waktu yang lain. Tapi aku benar-benar tak bisa mengingatnya saat ini.
Mobil perlahan melaju menembus deras hujan, lalu memasuki tol dalam kota agar perjalanan lebih cepat. Di kesempatan itu, aku meliriknya sekali lagi meski Surya sedang fokus menyetir. Meski usianya hampir menginjak kepala 4, tapi rupanya masih gagah seperti usia 30 awal. Jika ditaksir dengan usiaku saat ini yang baru menginjak angka 20, berarti kami berbeda sekitar 19 tahun.
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku memberanikan diri, tetap memanggil Mas karena merasa tak enak dengan usia yang cukup jauh.
"Apa, Rin?"