"Aku nanti akan jadi kepala keluarga, lho. Jadi aku berhak menentukan mana yang terbaik untuk kita."
Perdebatan itu tak berlangsung lama. Akhirnya dia yang memilih untuk mengundurkan diri dan menyetujui beberapa alasan yang aku sampaikan. Tapi kami tak sadar bahwa ada tembok yang lebih besar akan tetap menghalangi hubungan ini, apapun ceritanya.
"Nggak gini cara mainnya. Kita sepakat untuk mengakhiri hubungan sejak dua tahun lalu. Aku berhasil move on, dan kamu tiba-tiba datang ketika akan menikah, lalu malah berbalik menagih janji yang pernah aku tawarkan. Di mana akal sehat kamu?"
Aku tidak pernah seemosional ini di depannya. Tapi sikapnya yang di luar dugaan benar-benar membangkitkan kembali kenangan yang sudah tertidur lama. Tak seharusnya semua ini terjadi.
"Aku nggak bisa menikah hanya karena tuntutan kelurga! Aku nggak bisa dijodohkan seperti ini."
Sekarang ia menangis. Tapi aku tak bisa luluh dengan cara seperti ini, terlebih jika ia menginginkan aku untuk jadi pendamping hidupnya.
"Itu bukan urusan aku! Dan aku nggak mau terlibat dalam drama yang kamu buat. Paham?"
Aku meninggalkannya bersama kotak berisi kenangan kami. Ketika menuruni tangga, dia menyusul dengan terus memanggil namaku. Aku tidak mempedulikannya, terus turun hingga ke lantai 3, sampai akhirnya ia memegang tangaku untuk menghentikan langkah.
***
"Luar negeri? Kamu yakin?"Â Ia masih tampak ragu ketika aku menyarankan negara lain untuk tempat kami menikah nanti.
"Yakin, dong. Aku udah menyiapkan semuanya kok. Kamu mau, kan?"