Jangan salah paham, bukan berarti aku tidak bisa move on. Aku sudah mampu melupakan dia sejak setahun lalu, bahkan sempat juga menjalin hubungan dengan perempuan lain meski akhirnya putus.
Yang akan kuceritakan memang tentang dia, semata-mata karena pagi tadi aku dihubunginya untuk bertemu di tempat ini. Well, dulu tempat ini memang menjadi spot favorit kami, yaitu toko bunga yang di dalamnya terdapat kafe mini.
Alasan putus? Ya, biasalah, ada beberapa prinsip yang tak sejalan dengan pribadi masing-masing. Kami putus baik-baik juga. Tak ada drama, pertengkaran, atau air mata. Ups, maaf. Untuk poin terakhir sebenarnya memang terjadi. Lagipula, siapa juga yang tak akan menangis ketika hubungan yang terjalin tiga tahun pada akhirnya kandas?
Oh, itu dia sudah datang.
Perempuan berambut panjang ini membawa sebuah kotak ukuran sedang yang langsung disimpan di permukaan meja. Aku mencoba menebak sebelum membukanya. Dan ternyata benar, isinya barang-barang yang dulu pernah kuberikan untuknya. Kami saling tatap kemudian.
"Kamu masih bisa simpan ini," kataku menolak halus.
"Naren, tolong ngerti sekali ini aja."
Aku mengerutkan kening, menatapnya dengan tidak bersahabat karena sedikit tersinggung.
"Coba jelaskan di bagian mana aku nggak pernah mengerti kamu?"
"Dengar, aku ke sini bukan untuk berdebat."
Tak lama, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ah, undangan pernikahan. Sangat mudah ditebak.
Ada nama dia dan seorang lelaki yang menurutku asing ketika membacanya. Kurang lebih sebulan lagi hingga hari bahagia itu tiba. Apa aku akan datang? Masalahnya aku tak bisa datang seorang diri di pernikahan mantan.
Dia hanya sebentar duduk di sini. Minuman yang sudah dipesan sebelumnya pun hanya dihabiskan setengah, meninggalkan aku sendiri bersama barang-barang penuh kenangan yang seharusnya tak perlu lagi aku simpan.
***
Ada satu tempat lagi yang menjadi favoritku. Bangunan tua terbengkalai yang lokasinya cukup jauh dari jalan utama. Tingginya sekitar 7 lantai. Biasanya tempat ini aku datangi ketika sedang ada masalah. Entah itu sedih atau marah sekalipun. Lantai paling atas adalah tempat terbaik untuk teriak dan melepaskan beban.
Kotak yang diberikannya tadi ikut kubawa sampai ke lantai paling atas. Di sana aku pikir hanya sendirian, tapi aku salah dan tak menduga ternyata perempuan itu sudah duluan sampai. Sedang menatap kota dari tempat yang tinggi.
Ia menyadari kehadiranku karena langkah kaki yang menaiki tangga memang terdengar jelas. Kami bertatapan beberapa saat sembari aku menaruh kotak ini di permukaan lantai yang penuh debu. Jeda sejenak, sampai ia mendekat.
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan tatapan tajam.
"Tawaran kamu dulu apa masih berlaku?" Dia justru bertanya balik, dengan sorot mata yang sendu.
Sejenak aku membawa ingatan ke beberapa tahun lalu ketika kami berdua masih menjalin hubungan dan bekerja di satu tempat yang sama. Ketika benar-benar ingin membawa hubungan ini ke yang lebih serius karena mengingat usiaku kala itu hampir menyentuh kepala tiga, ada beberapa tahap yang harus kami lewati.
Dalam aturan perusahaan disebutkan bahwa tidak boleh ada karyawan yang terikat keluarga, termasuk soal pernikahan. Intinya, salah satu harus mengalah.
"Sebentar lagi aku dapat promosi. Jelas aku nggak bisa resign."
"Aku nanti akan jadi kepala keluarga, lho. Jadi aku berhak menentukan mana yang terbaik untuk kita."
Perdebatan itu tak berlangsung lama. Akhirnya dia yang memilih untuk mengundurkan diri dan menyetujui beberapa alasan yang aku sampaikan. Tapi kami tak sadar bahwa ada tembok yang lebih besar akan tetap menghalangi hubungan ini, apapun ceritanya.
"Nggak gini cara mainnya. Kita sepakat untuk mengakhiri hubungan sejak dua tahun lalu. Aku berhasil move on, dan kamu tiba-tiba datang ketika akan menikah, lalu malah berbalik menagih janji yang pernah aku tawarkan. Di mana akal sehat kamu?"
Aku tidak pernah seemosional ini di depannya. Tapi sikapnya yang di luar dugaan benar-benar membangkitkan kembali kenangan yang sudah tertidur lama. Tak seharusnya semua ini terjadi.
"Aku nggak bisa menikah hanya karena tuntutan kelurga! Aku nggak bisa dijodohkan seperti ini."
Sekarang ia menangis. Tapi aku tak bisa luluh dengan cara seperti ini, terlebih jika ia menginginkan aku untuk jadi pendamping hidupnya.
"Itu bukan urusan aku! Dan aku nggak mau terlibat dalam drama yang kamu buat. Paham?"
Aku meninggalkannya bersama kotak berisi kenangan kami. Ketika menuruni tangga, dia menyusul dengan terus memanggil namaku. Aku tidak mempedulikannya, terus turun hingga ke lantai 3, sampai akhirnya ia memegang tangaku untuk menghentikan langkah.
***
"Luar negeri? Kamu yakin?"Â Ia masih tampak ragu ketika aku menyarankan negara lain untuk tempat kami menikah nanti.
"Yakin, dong. Aku udah menyiapkan semuanya kok. Kamu mau, kan?"
"Aku... harus diskusi dulu sama keluarga."
Diskusi itu pada akhirnya tak berjalan sesuai rencana. Keluarganya tak mengizinkan apapun cara dan alasannya. Maka, malam itu di dalam mobil di hari Sabtu, aku memiliki sebuah ide gila.
"Kita nggak perlu restu orang tua kamu, karena kita bisa membangun keluarga yang baru cukup berdua aja."
"Naren, itu ide gila."
"Take it or leave it?"
Aku sadar bahwa malam itu telah memberikan pilihan yang seharusnya tak dipilih. Sejak awal, aku dan dia tak perlu memiliki hubungan spesial. Dulu pun aku berpikir bahwa ada alasan lain mengapa Tuhan mempertemukan kami. Namun sekarang aku tahu bahwa apa yang dipertemukan bukan berarti untuk disatukan.
Momen ketika datang ke rumahnya saat Hari Raya benar-benar menamparku keras. Aku terpaksa menyembunyikan kalung salibku untuk tetap menghargai keluarganya. Begitu pula ketika ia disambut oleh keluargaku saat Hari Natal tiba. Meski terlihat bahagia satu sama lain karena bisa berkumpul, sering kali ia tak bisa menikmati sajian yang keluargaku buat karena bertentangan dengan keyakinannya.
Maka hari ini ketika ia berusaha menahanku, aku melepaskannya kuat, lalu kutatap sekali lagi matanya.
"Tolong... jangan ganggu... hidup aku lagi..." kataku pelan namun dengan penuh penekanan. "Aku udah berhasil melewati semua ini, kamu juga pasti bisa."
Ia tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Tak lama, kudengar tangisannya yang mulai menjadi.
Namun pada akhirnya, aku memilih meninggalkan meski ia masih tak stabil. Segera masuk mobil, lalu mengendarainya meninggalkan gedung tua ini. Aku menangis di perjalanan, sungguh, memutar kembali memori waktu itu dalam putaran lambat. Saat dia memilih mundur dari hubungan ini, juga saat aku dengan berat hati harus menyetujuinya.
"Apa ini akhir dari segalanya?" tanyanya kala itu.
"Aku nggak tahu,"Â jawabku dengan tatapan kosong, lalu meletakkan tanganku di telapak tangannya. "Jika pun ini akhir, setidaknya kita masih bisa hidup di kenangan masing-masing. Iya, kan?"
Dan hari itulah yang menjadi patah hati terbesarku, berusaha sekeras mungkin untuk bisa lepas dari semua kenangan yang pernah terukir. Sampai akhirnya dia datang kembali ketika aku benar-benar telah melangkah.
Maaf, mantan, aku memilih untuk pergi karena tak mau mengambil risiko yang lebih dalam lagi.
Kepada Mantan, Biarkan Aku Menitip Kenangan - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H