Di toilet ia memandang cermin, melihat potret dirinya yang kembali terlempar pada ruang nostalgia lain. Kali ini, ada dirinya sendiri bersama Sintia sedang mendebatkan sesuatu. Kalau ia tak salah ingat, ini terjadi 6 bulan sebelum hari ini.
"Kalau mantan kamu itu memang ngajak balikan dan kamu masih sayang, ya terima aja. Kenapa malah kayak orang bingung gini?"
"Bas, aku membahas soal kita, lho. Bukan soal dia."
"Coba jelasin, apa yang harus dibahas dari kita?"
"Ya kita ini apa? Apa hubungan kita berdua memang hanya sebatas teman seperti kita menganggap Gian, Mutiana, dan Arni?"Â Sintia membalas pertanyaan dengan pertanyaan. "Kita udah melangkah jauh tanpa kamu sadari."
Baskara masih ingat saat itu butuh waktu beberapa detik untuk menjawab kembali puzzle tak utuh ini.
"Sin, aku sayang sama kamu. Tapi kalau maksud kamu adalah untuk-"
"Stop! Aku tahu kelanjutannya. Selama ini memang aku yang terlalu kepedean dan yakin bahwa kamu punya perasaan lain. Bahkan kejadian di kamar malam itu sama sekali nggak bisa menyentuh hati kamu, kan?"
"Aku cuma nggak siap. Aku masih belum yakin, Sin."
Mengingat momen itu, tak terasa bahwa mata Baskara sudah basah. Tapi setidaknya ia masih bisa menahan emosi agar tak ada air yang jatuh lebih banyak lagi dari matanya.
Tak seharusnya dia merasa patah seperti ini. Dia yang dulu membuat keputusan, maka seharusnya dia juga yang menanggungnya. Tak ada gunanya juga menyesali keadaan. Waktu merangkak ke depan, bukan belakang. Dan lagi, Sintia sudah bersama seseorang yang memang siap menemaninya hingga tua nanti.