"Ka-karena aku nggak tahu harus ajak siapa lagi," jawabnya dengan gugup.
Sintia mengalihkan pandangannya dari Baskara. Mungkin terlalu berlebihan jika ia  menganggap bahwa laki-laki itu memiliki tujuan yang lebih khusus.
***
Ada satu cerita lagi tentang kedekatan mereka yang masih teringat di pikiran Baskara. Malam itu hujan cukup deras. Ia mendapat pesan singkat di grup chat bahwa Sintia sakit dan hanya seorang diri di apartemennya. Mutia dan Arni tak bisa memaksakan diri ke sana karena jarak tempat tinggalnya yang jauh. Sementara Gian sedang ada di luar kota. Maka, hanya Baskara satu-satunya yang bisa diandalkan.
Ia menembus jalanan dengan sepeda motornya, juga tak lupa mengenakan jas hujan meski sesekali angin kencang hampir meniupnya. Bubur hangat, vitamin, dan susu kaleng yang tadi dibeli sudah tersimpan aman di bagasi motor.
Begitu sampai di lantai 7 apartemen, Sintia membuka pintu dengan wajah sangat pucat. Keduanya masuk meski sebagian tubuh Baskara masih basah. Sintia sempat menawarkan untuk meminjamkan handuk, tapi laki-laki itu menolaknya halus. Lagi pula, hal paling penting saat ini adalah memastikan keadaan Sintia baik-baik saja.
"Makan buburnya yang banyak, dong," kata Baksara dengan nada sedikit tinggi saat tahu Sintia hanya makan dengan suapan yang kecil.
"Nggak enak, Bas. Aku lemes banget ini," jawabnya masih bersandar di kasur.
Dengan beberapa bujukan meski rasa di lidah dan perutnya tak enak, Sintia berhasil menghabiskan setengah porsi bubur yang dibawa Baskara. Tak lupa juga vitamin dan susu kaleng dikonsumsinya untuk menambah stamina.
Masih di malam yang sama. Baskara memilih menginap untuk berjaga agar tak terjadi apa-apa pada Sintia. Ia tertidur pulas di sofa, sampai pada tengah malam suara Sintia membuatnya seketika terbangun. Ia langsung mendekat ke arah tempat tidur.
"Aku mau minum."