"Hi guys, kita lagi ada di nikahannya Sintia. Say hello dong, pengantin baru. Congrats ya! So happy for you."
Mutiana menyelesaikan rekaman singkat untuk konten instastory-nya itu setelah bersalaman dengan pengantin di ballroom hotel yang cukup mewah. Di belakangnya menyusul Arni, Baskara, dan Gian yang bergantian menyalami pengantin tanpa perlu repot membuat konten. Keempatnya turun, kemudian dihalang oleh tim WO dengan jas hitamnya yang ingin merekam mereka untuk mengucapkan selamat, dan akan diarsipkan sebagai kenang-kenangan.
Satu per satu mulai mengucapkan selamat dan doa-doa sederhana untuk pengantin baru di sana. Sampai ketika giliran Baskara, tiga orang temannya mulai heboh tak jelas menggoda dirinya. Laki-laki berkacamata bundar itu hanya bisa tersenyum tanpa menggubris, lalu mulai bicara di depan kamera.
"Hai, Sin. Congrats untuk pernikahannya. Thanks udah jadi bagian dari persahabatan kita. Bahagia selalu, ya."
 Setelah itu, mereka berempat berpisah ke arah berlawanan karena akan menyantap hidangan yang berbeda. Baskara memilih mendatangi stand zupa-zupa karena tidak ada antrian di sana.
Detik itu juga, ia teringat pada momen kebersamaannya dengan sang pengantin beberapa tahun lalu. Keduanya juga hadir di pesta pernikahan seperti ini karena kawan lama Baskara menikah. Ia mengajak Sintia untuk menemani, karena perempuan itulah yang tidak sibuk pada hari itu.
"Zupa-zupanya kebanyakan saos, Bas. Gimana, sih?" Sintia mengomel dengan wajah kesal.
"Masih untung diambilin. Dasar manja!"
Baskara pun tak  bisa melupakan momen kebersamaan ketika mereka pulang dari sana. Bersantai sejenak di salah satu mal meski keduanya masih mengenakan pakaian batik. Percakapan sederhana di salah satu kafe es-krim perlahan merangkak pada satu topik yang cukup serius.
"Kenapa harus aku yang kamu ajak? Ini bahkan udah yang ketiga kali."
Lawan bicara Sintia tak langsung menjawab. Ia terdiam dalam beberapa detik.
"Ka-karena aku nggak tahu harus ajak siapa lagi," jawabnya dengan gugup.
Sintia mengalihkan pandangannya dari Baskara. Mungkin terlalu berlebihan jika ia  menganggap bahwa laki-laki itu memiliki tujuan yang lebih khusus.
***
Ada satu cerita lagi tentang kedekatan mereka yang masih teringat di pikiran Baskara. Malam itu hujan cukup deras. Ia mendapat pesan singkat di grup chat bahwa Sintia sakit dan hanya seorang diri di apartemennya. Mutia dan Arni tak bisa memaksakan diri ke sana karena jarak tempat tinggalnya yang jauh. Sementara Gian sedang ada di luar kota. Maka, hanya Baskara satu-satunya yang bisa diandalkan.
Ia menembus jalanan dengan sepeda motornya, juga tak lupa mengenakan jas hujan meski sesekali angin kencang hampir meniupnya. Bubur hangat, vitamin, dan susu kaleng yang tadi dibeli sudah tersimpan aman di bagasi motor.
Begitu sampai di lantai 7 apartemen, Sintia membuka pintu dengan wajah sangat pucat. Keduanya masuk meski sebagian tubuh Baskara masih basah. Sintia sempat menawarkan untuk meminjamkan handuk, tapi laki-laki itu menolaknya halus. Lagi pula, hal paling penting saat ini adalah memastikan keadaan Sintia baik-baik saja.
"Makan buburnya yang banyak, dong," kata Baksara dengan nada sedikit tinggi saat tahu Sintia hanya makan dengan suapan yang kecil.
"Nggak enak, Bas. Aku lemes banget ini," jawabnya masih bersandar di kasur.
Dengan beberapa bujukan meski rasa di lidah dan perutnya tak enak, Sintia berhasil menghabiskan setengah porsi bubur yang dibawa Baskara. Tak lupa juga vitamin dan susu kaleng dikonsumsinya untuk menambah stamina.
Masih di malam yang sama. Baskara memilih menginap untuk berjaga agar tak terjadi apa-apa pada Sintia. Ia tertidur pulas di sofa, sampai pada tengah malam suara Sintia membuatnya seketika terbangun. Ia langsung mendekat ke arah tempat tidur.
"Aku mau minum."
Baskara mengambil segelas air yang langsung dihabiskan oleh Sintia. Matanya yang masih menahan kantuk serta mulutnya yang terus menguap, membuat Sintia sedikit merasa bersalah.
"Maaf udah bikin repot," katanya tertunduk.
"That's okay. Keadaan kamu gimana?" tanya Baskara sembari meletakkan telapak tangannya pada kening Sintia. Masih hangat meski tak separah ketika ia datang. "Pipi kamu masih anget juga. Pokoknya nanti langsung ke dokter, ya."
Telapak tangan Baskara masih menempel pada pipi Sintia. Perempuan itu berbalik memegang pipi Baskara dengan telapak tangannya. Kini, mereka saling bertatapan. Ada kehangatan yang mengalir pelan pada diri keduanya. Sentuhan itu pun berlabuh pada dua telapak tangan. Baskara tak mengerti apa yang sedang merasukinya hingga ia melakukan hal ini.
Maka, pada detik selanjutnya keduanya mendekat. Memadukan bibir masing-masing hingga detak jantung bekerja di atas kemampuan normalnya.
***
"Dari dulu gua masih penasaran soal hubungan lo sama Sintia," kata Gian tiba-tiba di belakang Baskara yang sedang menikmati puding coklat.
"Apa sih, Gi? Dari dulu gua udah bilang kalau kita cuma temenan. Kayak kita aja gimana," jawabnya santai.
"Tapi, lo pernah merasa bahwa ada perasaan lain dari diri lo sendiri?"
"Enggak, kok. Dari dulu perasaan gue ke dia nggak berubah. Sama waktu pertama kenal."
Percakapan singkat itu ditunda sejenak karena Baskara pamit ke toilet. Sebenarnya ia hanya ingin menghindar. Karena semakin lama Gian membahas soal Sintia, maka luka pada perasaannya akan semakin basah. Entahlah, setiap mengingat momen kebersamaannya bersama Sintia, lalu membandingkan dengan keadaan saat ini di mana ia sudah menikah, membuat Baskara tambah tak karuan.
Di toilet ia memandang cermin, melihat potret dirinya yang kembali terlempar pada ruang nostalgia lain. Kali ini, ada dirinya sendiri bersama Sintia sedang mendebatkan sesuatu. Kalau ia tak salah ingat, ini terjadi 6 bulan sebelum hari ini.
"Kalau mantan kamu itu memang ngajak balikan dan kamu masih sayang, ya terima aja. Kenapa malah kayak orang bingung gini?"
"Bas, aku membahas soal kita, lho. Bukan soal dia."
"Coba jelasin, apa yang harus dibahas dari kita?"
"Ya kita ini apa? Apa hubungan kita berdua memang hanya sebatas teman seperti kita menganggap Gian, Mutiana, dan Arni?"Â Sintia membalas pertanyaan dengan pertanyaan. "Kita udah melangkah jauh tanpa kamu sadari."
Baskara masih ingat saat itu butuh waktu beberapa detik untuk menjawab kembali puzzle tak utuh ini.
"Sin, aku sayang sama kamu. Tapi kalau maksud kamu adalah untuk-"
"Stop! Aku tahu kelanjutannya. Selama ini memang aku yang terlalu kepedean dan yakin bahwa kamu punya perasaan lain. Bahkan kejadian di kamar malam itu sama sekali nggak bisa menyentuh hati kamu, kan?"
"Aku cuma nggak siap. Aku masih belum yakin, Sin."
Mengingat momen itu, tak terasa bahwa mata Baskara sudah basah. Tapi setidaknya ia masih bisa menahan emosi agar tak ada air yang jatuh lebih banyak lagi dari matanya.
Tak seharusnya dia merasa patah seperti ini. Dia yang dulu membuat keputusan, maka seharusnya dia juga yang menanggungnya. Tak ada gunanya juga menyesali keadaan. Waktu merangkak ke depan, bukan belakang. Dan lagi, Sintia sudah bersama seseorang yang memang siap menemaninya hingga tua nanti.
Baskara bahagia hari ini. Ia harus bahagia.
Lalu, ia melangkah memasuki ballroom tadi, bergabung bersama keempat lainnya yang sudah menunggunya untuk melakukan sesi foto bersama pengantin. Di atas sana depan kamera, Baskara memberikan senyum terbaiknya. Memberikan berbagai gaya dari yang kalem hingga paling gokil untuk dikenang bersama sahabat-sahabatnya.
Bersama Gian, Mutiana, Arni...
... dan tentu
... bersama pengantin baru itu.
***
Broken Heart, In a Good Way - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H