Baskara mengambil segelas air yang langsung dihabiskan oleh Sintia. Matanya yang masih menahan kantuk serta mulutnya yang terus menguap, membuat Sintia sedikit merasa bersalah.
"Maaf udah bikin repot," katanya tertunduk.
"That's okay. Keadaan kamu gimana?" tanya Baskara sembari meletakkan telapak tangannya pada kening Sintia. Masih hangat meski tak separah ketika ia datang. "Pipi kamu masih anget juga. Pokoknya nanti langsung ke dokter, ya."
Telapak tangan Baskara masih menempel pada pipi Sintia. Perempuan itu berbalik memegang pipi Baskara dengan telapak tangannya. Kini, mereka saling bertatapan. Ada kehangatan yang mengalir pelan pada diri keduanya. Sentuhan itu pun berlabuh pada dua telapak tangan. Baskara tak mengerti apa yang sedang merasukinya hingga ia melakukan hal ini.
Maka, pada detik selanjutnya keduanya mendekat. Memadukan bibir masing-masing hingga detak jantung bekerja di atas kemampuan normalnya.
***
"Dari dulu gua masih penasaran soal hubungan lo sama Sintia," kata Gian tiba-tiba di belakang Baskara yang sedang menikmati puding coklat.
"Apa sih, Gi? Dari dulu gua udah bilang kalau kita cuma temenan. Kayak kita aja gimana," jawabnya santai.
"Tapi, lo pernah merasa bahwa ada perasaan lain dari diri lo sendiri?"
"Enggak, kok. Dari dulu perasaan gue ke dia nggak berubah. Sama waktu pertama kenal."
Percakapan singkat itu ditunda sejenak karena Baskara pamit ke toilet. Sebenarnya ia hanya ingin menghindar. Karena semakin lama Gian membahas soal Sintia, maka luka pada perasaannya akan semakin basah. Entahlah, setiap mengingat momen kebersamaannya bersama Sintia, lalu membandingkan dengan keadaan saat ini di mana ia sudah menikah, membuat Baskara tambah tak karuan.