Aku baca sekali lagi pesan itu.
Arya, Ayahku meninggal.
Di tengah kemacetan kota, aku mencoba menahan tangis karena tiba-tiba teringat sosok Mama yang sudah lebih dulu dipanggil Tuhan. Aku sangat tahu rasa ini. Begitu dalam dan terus membekas hingga saat ini.
Untunglah taksi berhasil membawaku ketika matahari belum terbenam. Cuaca pun perlahan membaik meski sesekali cahaya mentari itu ditutup oleh awan. Di sana, orang-orang dengan pakaian serba hitamnya mulai meninggalkan lokasi. Seorang perempuan yang sebaya denganku masih diam di sana bersama keluarganya.
"Arya!" serunya ketika melihat aku yang mulai mendekat.
Aku langsung memeluknya, membiarkan kemejaku basah karena air matanya.
"Ayah udah pergi, Ar," katanya terus menangis.
"Seenggaknya Ayah kamu udah nggak merasakan sakit lagi."
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang hilang pada dirinya, sama sepertiku ketika kehilangan Mama. Tapi, aku tak boleh terbawa suasana. Aku terus mendekapnya untuk membuat perasaannya lebih baik.
Begitu perempuan ini tenang, aku menyimpan bunga lili yang tadi dibawa tepat di samping tanah yang masih basah itu. Aku mengusap nisan kayu itu pelan seakan sedang membelai seseorang.
"Tugas Om sudah selesai. Sekarang, biar aku yang menjaga Tia."