Ia melihat Andrean dengan mesra mengacak-acak rambut Stefani, lalu memasangkan helm pada kepala gadis itu. Hingga beberapa saat kemudian, keduanya sudah pergi dengan motor besar yang dikendarai Andrean.
Dengan perasaan tak karuan, bahkan hingga menahan tangis, Alva beralih ke parkiran tempat motornya di simpan. Di sana ia bertemu Faris yang juga akan mengambil kendaraannya.Â
"Lo kenapa, Al? Kayak yang galau gitu."
Awalnya Alva tidak menjawab pertanyaan itu. Ia merasa cukup memendamnya sendirian. Sampai pada satu titik dengan emosi yang memuncak, laki-laki berkacamata itu mendekat ke arah Faris.
"Ini nggak akan terjadi kalau lo terobsesi bikin gue jadian sama Stefani," kata Alva dengan nada tinggi.
"Wow, wow, tenang. Ada apa, nih?"
"Sejak awal harusnya lo nggak perlu bantu gue. Sejak awal, gue belum siap untuk mengungkap perasaan ini. Tapi lo terus-terusan maksa. Akhirnya apa? Rencana berantakan! Bahkan sekarang gue lihat Stefani jalan sama cowok lain."
Faris membiarkan Alva meluapkan semua amarahnya. Hingga ketika laki-laki itu mulai bisa mengontrol diri, Faris meletakkan tangannya di pundak sobatnya itu.
"Sori ya kalau gue bikin semuanya jadi kacau. Gue cuma mau bantu lo aja kok. Gue pernah ditolak dua kali waktu semester 1. Tahu sendiri lah gimana ceritanya. Gue nggak mau lo mengalami hal yang sama. Sekali lagi, sori. Niat gue baik kok."
Dari sana, Faris meninggalkan Alva. Ia tahu bahwa Alva membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Tanpa dirinya.
***