Tapi, seharusnya tidak begini. Cinta sudah memegang kendali terlalu jauh atas diri Ralin. Bukan ini cara kerjanya.
"Apa yang telah kamu lakukan? Ini sudah kelewatan!" kataku pada Cinta. "Hentikan sebelum semua terlambat."
"Untuk apa? Patah Hati tidak perlu ikut campur. Ini hanya urusanku dengan Ralin."
Untungnya aku sempat mengenal Realitas. Aku memanggilnya untuk mengambil alih tubuh Ralin paling tidak sebentar saja. Maka, ketika kedua tangan kanan laki-laki itu sudah semakin liar memegang tubuh Ralin, perempuan itu bisa sadar. Ia melepaskan semuanya dengan sedikit panik.
"Maaf Di, aku nggak bisa."
***
"He just wants your body. Wake up, Raling sayang," kata Dion saat mereka berdua sengaja nongkrong di salah satu warung surabi dekat kampus. "Meski aku bukan laki-laki macho, aku bisa lihat niat jahat dia selama ini."
Aku setuju dengan laki-laki kemayu itu. Paling tidak, ia mengedepankan realitas dibanding urusan cinta yang membutakan.
"Dia sudah bilang bahwa kemarin itu khilaf."
"Lantas kamu langsung percaya begitu saja?"
Sejak itu pun aku sedikit muak dengan cinta. Dengan seenaknya dia terus mengontrol hati dan pikiran Ralin hingga Realitas pun tidak bisa berbuat banyak. Sementara aku tidak mungkin hadir di saat seperti ini.