"A-aku juga nggak tahu, Fil."
"FILI, TOLONG AKU!"
Itu Sintia! Suaranya ada di kegelapan sana yang cukup jauh dari tempatku berdiri. Tapi aku sama sekali tidak bisa melihat keberadaannya dengan kondisi minim cahaya seperti ini.
Aku, Danar, dan Bayu melangkah pelan keluar lift. Tangga darurat ada di ujung sana di mana kami harus berjalan, bahkan berlari, secara diagonal. Tapi masalahnya, antara suara Sintia barusan dan lokasi tujuan kami saat ini ada di arah yang berebeda.
"Kalian berdua pergi ke tangga darurat. Biar aku yang cari Sintia," kata Bayu masih memegang helm.
"Kita harus bareng-bareng, Bay!" jawabku tegas.
Dalam kegelapan itu dengan hanya mengandalkan setitik cahaya dari ponsel, Bayu berlari menjauh dariku dan Danar. Aku hendak menyusulnya, namun Danar segera mencegah.
"Benar apa kata dia. Kita ke tangga darurat aja dulu."
Dengan berat hati, aku mengikuti langkah Danar  yang mulai berlari dengan langkah tak sempurna. Secepat mungkin kami melangkah dalam kegelapan mencari tangga darurat. Di tengah pelarian itu, ada seseorang tak berdaya dalam kondisi tengkurap. Aku berhenti dan mengarahkan ponsel ke arahnya hingga menyadari bahwa itu adalah Sintia.
Kami sama-sama kebingungan karena melihat tubuh Sintia yang tiba-tiba ada di sini. Padahal beberapa menit lalu ia berteriak di arah sana, tempat di mana Bayu menyusul untuk menemukannya.
Aku memeriksa sekitar tubuhnya. Ada sebuah luka seperti cakaran yang masih basah pada kedua kakinya. Danar mencoba membangunkan Sintia, tapi tidak ada pergerakan sama sekali dari perempuan itu.