Dengan kondisi yang belum stabil, Danar bangkit dari duduknya sambil memegang kakinya kanannya yang sakit. Ia melangkah perlahan menuju keluar pintu lift. Otomatis Bayu ikut bangkit dan langsung mencegahnya.
"Ngapain, sih? Satu-satunya tempat yang aman di sini!"
"Dan menunggu lebih dari 7 jam sampai matahari terbit? Kita bahkan nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di sini."
"Aku akan tetap nunggu!" Kali ini Sintia yang bangkit. Ia menatap Bayu dan Danar bergantian. "Kalau di antara kalian ada yang mau pergi dan lewat tangga darurat, silakan. Tapi setelah itu tolong cari bantuan ke sini."
Kini kami berempat saling berdiri dan mengemukakan pendapat masing-masing. Sintia dan Bayu tetap ingin menunggu di sini saja karena menurut mereka ini tempat paling aman untuk saat ini. Sedangkan aku setuju pada Danar. Cepat atau lambat, kami harus segera pergi dan meminta pertolongan.
"Akses lift akan mati setengah jam lagi. Kalian lupa?" tanyaku serius. "Kemungkinan besar lampu ini akan mati, bahkan pintu tertutup sampai besok pagi."
Di tengah perdebatan itu, lagi-lagi sesuatu terjadi. Lampu lift mati, membuat keadaan gelap sampai kami tidak bisa melihat satu sama lain.
***
"Nyalain lampu hp kalian!" Aku tahu itu suara Danar meski tidak melihatnya dalam kegelapan. Dengan sigap aku segera menyalakan flash, begitu pula Bayu.
Dua cahaya flash saling mengarahkan ke sekeliling. Tapi, ada yang kurang. Sintia tidak ada di sana meski telah berkali-kali aku panggil.
"Sintia di mana, Bay? Tadi dia sebelah kamu, kan?" tanyaku panik.