"Namanya Kania, Ris. Dia cantik sih, tapi bukan itu aja yang buat aku suka sama dia."
Aku tidak bisa melupakan tatapan matanya yang begitu hangat ketika menceritakan perempuan itu. Hingga dua bulan kemudian setelah melakukan pendekatan, mereka resmi menjalin hubungan hingga saat ini.
Kemudian, cerita persahabatan kami perlahan pudar. Sikap Kania yang cemburuan terkadang membuatku harus bisa menjaga jarak dengan Andy. Bahkan dalam sekali waktu aku merasa bahwa laki-laki itu seakan menjadi orang asing bagiku.
"Ada rasa nyaman tersendiri kan waktu kita berdua?" jawabku dengan membalas pertanyaan.
"Ya, itu maksud aku," kata Andy mantap. "Bahkan ada sesuatu yang hilang ketika aku punya hubungan dengan Kania. Itu karena kita jauh."
Jantungku mulai berdebar lebih kencang. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat.
"Aku bisa ngerti maksud kamu. But please, not today."
Posisi Bianglala kini berada di puncak. Sinar matahari menyempurnakan mata coklat Andy yang kini bertatap denganku. Kedua telapak tangannya menyentuh bahuku.
"Tell me if you love me, more than best friend."
***
Andy tidak pernah menyukai rumah sakit sejak kejadian Ibunya yang meninggal karena kanker. Tapi saat itu ia terpaksa datang ke sana bersamaku. Aku tidak bisa melupakan desah napasnya ketika ia menelepon. Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar karena menahan tangis.